Thursday, April 03, 2008

Perlukah Memboikot Beijing?

Semenjak kerusuhan di Lasha awal bulan lalu setelah penangkapan sekitar 60 biksu memenuhi halaman depan berbagai surat kabar di dunia, muncullah tekanan dari berbagai pihak untuk memboikot pelaksanaan Olimpiade di Beijing bulan Oktober nanti. Presiden Perancis, Nicholas Sarkozy, telah menyuarakan rencana ini dan melalui Menteri Luar Negerinya, Bernard Kouchner, Perancis meminta kepada Uni Eropa untuk menghukum Cina dengan melakukan boikot pada saat upacara pembukaan Olimpiade nanti.

Robert Meynar, pimpinan organisasi Reporters without Borders, meminta hal yang sama dan menyerukan kepada negara-negara pengusung demokrasi di dunia untuk memberanikan diri untuk berkata tidak dan memboikot Olimpiade Beijing.

Sabotase terhadap Olimpiade juga pernah terjadi sebelumnya. Ketika Moskow menjadi tuan rumah Olimpiade 1980, banyak negara Barat yang memboikot pelaksanaan Olimpiade. Hal in dilakukan karena suhu politik perang dingin saat itu sangat tinggi.

Beberapa waktu lalu, tepatnya bulan Juni 2007 di New Delhi, sebuah grup yang menamakan dirinya "Friends of Tibet" menyerukan kepada dunia untuk menggunakan Olimpiade Beijing tahun 2008 sebagai momentum untuk mengangkat isu Tibet ke dunia internasional. Olimpiade Beijing adalah sebuah kesempatan bagi rakyat Tibet untuk menunjukkan diri dan melakukan protes kepada Beijing. Sebuah seruan juga diumumkan untuk melakukan protes di seluruh penjuru dunia dan perjalanan kaki rakyat Tibet di India dan Nepal ke Lasha bersamaan dengan pelaksanaan upacara pembukaan Olimpiade.

Di seberang samudera Atlantik, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat juga berusaha mencegah rencana Presiden Bush untuk menghadiri acara pembukaan Olimpiade di Beijing.

Tetapi, apakah kita benar-benar perlu untuk memboikot Olimpiade Beijing?

Masih jelas dalam ingatan saya pada Juli 2006 lalu ketika Pelti (Persatuan Tenis Seluruh Indonesia) memutuskan untuk tidak mengirimkan tim Piala Federasi Indonesia ke Israel untuk bermain melawan tim Israel sebagai bentuk protes atas perlakukan pemerintah Israel di Palestina. Hasilnya, tim Israel menang tanpa harus bertanding dan tim Indonesia harus menanggung hukuman dari ITF karena menolak bermain. Selain sanksi administratif, tim Piala Federasi Indonesia juga dilarang untuk mengikuti kompetisi selama satu tahun penuh. Baru tahun lalu mereka bisa mengikuti kembali kompetisi tenis beregu wanita ini.

Sebagai seorang penyuka tenis, saya kecewa terhadap kejadian ini karena usaha keras yang dilakukan oleh para pemain Piala Federasi Indonesia di New Delhi pada tahun 2005 untuk memperebutkan posisi di babak play-off hilang begitu saja. Politik telah merusak keindahan permainan tenis.

Namun begitu, sebagai seorang Indonesia, saya sangat memahami betul keputusan untuk melakukan boikot ini. Rakyat dan pemerintah Indonesia sudah lama terkenal dengan dukungannya kepada usaha rakyat Palestina untuk merdeka dari penjajahan Israel. Ketidakadilan dan kekerasan di Palestina oleh pemerintah Israel harus dihapuskan bagaimanapun caranya.

Keputusan serupa seperti diambil oleh tim Piala Federasi Indonesia juga pernah terjadi pada tahun 1974 ketika tim Piala Davis India memutuskan untuk tidak berangkat ke Afrika Selatan sebagai protes atas politik apartheid yang dipraktekkan oleh pemerintah Afrika Selatan.

Jadi, kembali ke pertanyaan yang diajukan di artikel ini, saya berpendepat bahwa kita tidak perlu untuk memboikot Olimpiade Beijing. Sebab Olimpiade ini merupakan pesta olah raga dan politik tidak boleh mencampurinya.

Terus terang, saya sangat menaruh simpati saya kepada rakyat Tibet dan memberikan dukungan sepenuhnya kepada usaha mereka untuk membebaskan diri dari keadaan yang ada sekarang. Tetapi saya juga menginginkan adanya pelaksanaan Olimpiade yang sukses, yang bebas dari politik. Oleh karena itu kita harus mendukung usaha pemerintah Cina untuk menyelenggarakan pesta olah raga dunia ini dengan sukse.

Sebab, apabila kita memag benar-benar ingin memboikot Olimpiade Beijing, kita harusnya melakukan hal ini sejak awal, ketika Beijing terpilih menjadi tuan rumah pelaksanaan Olimpiade tahun 2008. Apabila sekarang kita mencoba untuk menggagalkan terlaksananya Olimpiade Beijing, ini sama halnya dengan seorang yang munafik dan pengecut yang tidak berani berkata tidak secara terus terang tetapi sekarang berusaha membujuk dan merayu orang untuk memboikot Olimpiade Beijng sebagai usaha untuk mencuri perhatian dunia bahwa dia bersimpati dengan nasib rakyat Tibet.

Bagaimana dengan pelanggaran HAM di Iraq, di Afghanistan atau di Guantanamo Bay? Apakah tidak perlu di protes?

Saya percaya bahwa Tibet adalah masalah domestik pemerintah Cina dan pemerintah Cina sedang berusaha untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, sebagai sebuah usulan, untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Tibet, sudah seharusnya jalan dialog diambil oleh pemerintah Cina. Sebab hanya melalui dialoglah permasalahan di Tibet bisa diselesaikan. Sebaliknya, apabila pemerintah Cina melakukan pendekatan militer, saya yakin bahwa hal ini hanya akan menjadi bumerang dan meningkatnya kebencian dan rasa ingin memberontak rakyat Tibet. Dengan mensejajarkan Dalai Lama sebagai mitra dialog pemerintah Cina, saya yakin bahwa permasalahan di Tibet akan segera selesai dan Olimpiade bisa berjalan dengan sukses.

Your Ad Here

0 Komentar:

Post a Comment


Your Ad Here

Your Ad Here


Kembali Depan