Monday, June 11, 2007

Menunggu kesepakatan perjanjian nuklir India – Amerika Serikat

Di Senayan, para anggota dewan sibuk berargumen mengenai dukungan pemerintah SBY terhadap resolusi DK PBB 1747 tentang Perluasan Sanksi bagi Iran terkait usaha Iran mengembangkan teknologi nuklir. Sementara di New Delhi, pemerintah India dan AS sibuk melakukan finalisasi perjanjian nuklir bilateral yang dianggap sebagai titik baru hubungan bilateral India – AS dan penghilangan kebijakan apartheid teknologi nuklir.

Awal bulan Juni ini, wakil menlu AS untuk urusan Asia Selatan, Nicholas Burns, berada di India untuk melanjutkan perundingan dengan pemerintah India. Kedua negara berharap bahwa masalah yang selama ini masih mengganjal akan segera diselesaikan melalui perundingan ini. Tetapi, setelah melakukan perundingan intensif selama tiga hari di New Delhi, kata sepakat masih sulit untuk dicapai.

Sejak awal penandatangan perjanjian nuklir ini pada 18 Juli 2005 (J18) dan 2 Maret 2006 (M2), hingga persetujuan Kongres AS pada akhir 2006 (Hyde Act), masih terdapat beberapa masalah sensitif yang mengganjal. Yaitu: pertama, pinalti atau hukuman kepada India apabila India melakukan uji coba nuklir; kedua, tuntutan jaminan suplai bahan bakar seumur hidup kepada India untuk reaktor-reaktor nuklir yang diimpor; dan ketiga, hak India untuk memroses ulang bahan bakar nuklir yang telah digunakan. Tiga masalah ini bisa diurai sebagai berikut.

Pertama, India tidak ingin keputusan politiknya untuk tidak melakukan percobaan nuklir setelah percobaan nuklir tahun 1998 dijadikan dalih oleh AS untuk menekan India supaya menyetujui klausa tentang pinalti atau hukuman kepada India apabila India melakukan percobaan nuklir di masa depan. India berpendapat bahwa keputusan untuk tidak melakukan percobaan nuklir ini adalah keputusan internal pemerintah India yang tidak bisa disangkut-pautkan dengan perjanjian nuklir India – AS. India adalah negara nuklir dan melakukan percobaan nuklir menjadi hak prerogatif sebuah negara nuklir, seperti halnya AS, Cina ataupun Rusia.

Kedua, menurut pemerintah India, tuntutan jaminan suplai bahan bakar nuklir seumur hidup untuk reaktor nuklir impor adalah wajar. India tidak ingin pengalaman buruk yang menimpa reaktor nuklir di Tarapur terulang lagi karena tiadanya jaminan suplai bahan nuklir. Sebagai catatan, ketika India melakukan percobaan nuklir tahun 1998, embargo ekonomi yang diberikan dunia internasional telah mengakibatkan terputusnya jaringan suplai bahan bakar nuklir untuk menjalankan reaktor nuklir yang dimiliki India. Untuk menghindari pengalaman buruk ini, India meminta kepada AS untuk memberikan jaminan suplai bahan bakar nuklir seumur hidup untuk reaktor nuklirnya. Konsesi besar yang akan diberikan India atas tuntutan ini adalah ijin pengawasan terus-menerus (permanent international safeguards) oleh badan energi atom internasional terhadap reaktor-reaktor sipil yang dimiliki oleh India.

Ketiga, tuntutan India untuk memroses ulang sendiri bahan bakar nuklir yang telah digunakannya juga wajar. Pemerintah India yakin bahwa ilmuwan India telah menguasai teknologi pemrosesan ulang dan mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Kesiapan ini ditunjukkan oleh teknologi tiga tahap (three-stage technology) yang digunakan di Tarapur.

Akan tetapi, meskipun pemerintah AS sekarang sudah mempunyai itikad untuk memerhatikan limbah nuklir dengan melakukan pemrosesan ulang melalui Global Nuclear Energy Partnership, pemerintah AS berpendapat bahwa hak untuk melakukan pemrosesan ini hanya berlaku untuk negara-negara dengan teknologi nuklir yang telah maju seperti AS, Perancis ataupun Rusia. AS menilai India belum cukup mampu untuk melakukan proses ini dan India hanyalah penerima bahan bakar nuklir yang tidak mempunyai hak untuk melakukan pemrosesan ulang bahan bakar nuklir.

Selain itu, mungkin pemerintah AS juga mempunyai kekhawatiran bahwa India akan menyalahgunakan hasil pemrosesan spent nuclear fuel tersebut untuk kebutuhan militernya.

Tetapi, apabila kita memerhatikan dengan seksama jejak rekam teknologi nuklir India, tiga tuntutan ini seharusnya bisa dengan mudah untuk dipenuhi. India adalah negara besar di Asia yang terus merangkak maju. Kebutuhan energi India akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun opsi untuk mendapatkan tambahan sumber energi dari teknologi nuklir tidak akan menjamin terpenuhinya semua kebutuhan energi India, tetapi dengan kemampuan teknologi yang dimiliki India, sudah sewajarnya bila India memperoleh status dan hak sebagai sebuah kekuatan nuklir di Asia.

Dari sisi politik, India adalah negara demokrasi terbesar di dunia dimana praktek demokrasi telah mengakar dengan kuat. Militer India tidak pernah ikut campur dalam masalah politik dan proses politik di India bisa menjamin keamanan teknologi nuklir yang saat ini terus dibangun. Oleh karena itu, meskipun perundingan di awal bulan ini di New Delhi menemui jalan buntu, tetapi ini bukanlah akhir dari awal yang menjanjikan. Suksesnya perjanjian nuklir India – AS hanyalah menunggu waktu saja. Selama Washington siap menjaga semangat yang telah tertuang didalam perjanjian J18/M2, kemajuan teknologi nuklir India sudah diujung mata.

Your Ad Here

0 Komentar:

Post a Comment


Your Ad Here

Your Ad Here


Kembali Depan