Tuesday, January 06, 2009

Teror di Mumbai

Pada akhir Nopember lalu, tepatnya tanggal 26 – 29 Nopember 2008, sebuah tragedi kemanusiaan kembali mengguncang dunia. 10 orang teroris melakukan penyerangan dan pembunuhan secara membabi buta di Mumbai, ibu kota negara bagian Maharashtra di India bagian barat. Hotel, rumah sakit, kafe, tempat ibadah dan stasiun kereta api menjadi target aksi teror. Lebih dari 170 orang terbunuh dan lebih dari 300 lainnya terluka. Bukan hanya warga India yang menjadi korban, tapi warga negara asing yang sedang menikmati keindahan kota Mumbai juga menjadi korban tindakan brutal ini. Tercatat ada 22 orang warga negara asing, terutama dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, yang menjadi korban kejahataan kemanusiaan yang terjadi di Mumbai, kota yang manjadi urat nadi perekonomian India.

Selain korban yang meninggal dan terluka, Menteri Dalam Negeri India dan Menteri Besar (Chief Minister) negara bagian Maharashtra harus rela mundur dari jabatan yang mereka emban sebagai bagian dari tanggung jawab moral meraka atas kejadian yang memilukan ini.

Dari 10 teroris, hanya satu yang selamat dan ditangkap oleh pemerintah India. Diketahui bahwa pelaku teror yang tertangkap berkewarganegaraan Pakistan dan karenanya pemerintah India menuduh adanya campur tangan pemerintah Pakistan di balik aksi teror Mumbai kali ini. Pemerintah Pakistan menolak tuduhan ini tetapi dengan adanya bukti kontak komunikasi antara para teroris dengan seseorang di Pakistan pada saat terjadinya aksi teror memperkuat dugaan adanya keterlibatan orang/kelompok di luar India dalam eksekusi aksi teror di Mumbai.

Tudingan terhadap Al-Qaida-pun langsung muncul karena kemiripan sasaran aksi teror: orang asing dan pusat perekonomian. Tetapi dari hasil penyelidikan terakhir, ditemukan indikasi kuat bahwa Lashkar-e-Tayyeba (LeT), sebuah organisasi Islam garis keras di Pakistan yang oleh mantan Presiden Pakistan Pervez Musharraf dibubarkan dan namanya dimasukkan dalam daftar hitam organisasi teroris dunia, menjadi dalang dibalik aksi teror di Mumbai. Melalui organisasi baru bernama Jamiat-u-Da’wah, para anggota LeT bermetamorfosis dan giat menyebarkan ideologinya melalui kegiatan-kegiatan kemanusiaan sehingga menuai simpati dan dukungan yang kuat dari masyarakat Muslim. Danapun mengalir dengan mudah ke nomor rekening bank organisasi ini yang kemudian didistribusikan dan digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah dipersiapkan untuk membantu dan menolong orang-orang Muslim. Dana-dana kegiatan kemanusiaan inilah yang kemudian diduga kuat menjadi sumber dana pelaksanaan aksi terorisme, termasuk aksi teror di Mumbai, India.

Ketika tulisan ini dibuat, proses penyelidikan terhadap pelaku aksi teror Mumbai masih berlangsung dan akan membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk benar-benar bisa menyingkap siapa dalang dibalik aksi kejahatan kemanusiaan ini. Tulisan singkat ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang muncul pasca aksi teror Mumbai. Beberapa pertanyaan ini adalah: apa motivasi para pelaku teror di Mumbai? Apa akibat dari serangan teror ini terhadap India khususnya dan Asia Selatan umumnya? Bagaimana kita harus menyikapi aksi teror ini dan persiapan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi kemungkinan adanya aksi serupa di kemudian hari?

Terorisme bukanlah hal yang asing di Asia Selatan. Semenjak anak benua ini terbagi menjadi beberapa negara pasca Perang Dunia Kedua dengan suku, budaya, agama, ideology politik, tingkat ekonomi yang beragam, terorisme menjadi bagian tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan negara bangsa di Asia Selatan. Macan Tamil di Sri Lanka, Maoist di Nepal dan India, Khalistan di India, Al-Qaida dan Taleban di Afghanistan, Harkat-ul-Jihad (HuJi) di Bangladesh, Jammu Kashmir Liberation Front (JKLF) di India, LeT di Pakistan adalah beberapa kelompok yang mendasarkan agama, ideologi politik, etnisitas dan status ekonomi sebagai dasar “perjuangan” melawan status quo. Dan perjuangan inilah yang kemudian melahirkan berbagai bentuk aksi teror dengan korban yang ribuan, atau mungkin jutaan, jumlahnya.

Tetapi, ada satu hal yang unik mengenai terorisme di Asia Selatan. Bila Macan Tamil (LTTE) di Sri Lanka sempat melibatkan India dan memakan korban Rajiv Gandhi, seorang PM India, tetapi kemudian, hingga sekarang, menjadi terlokalisasi di Sri Lanka, kegiatan terorisme JKLF, LeT ataupun HuJi masih melibatkan beberapa negara seperti Pakistan, India dan Bangladesh.

Terkait teror di Mumbai, Pemerintah India dan Pakistan dihadapkan pada situasi untuk segera mampu menjinakkan/menghilangkan ancaman terorisme yang terus menhantui para penduduk di dua negara nuklir di Asia Selatan yang mempunyai sejarah hubungan bilateral yang kelam. Belum terselesaikannya sengketa wilayah Kashmir hingga saat ini menjadi titik permasalahan bilateral kedua negara. Empat perang telah dijalani oleh India dan Pakistan untuk memperebutkan Kashmir sejak tahun 1947, terakhir adalah perang Kargil pada tahun 1999. Usaha-usaha diplomasi untuk menyelesaikan masalah Kashmir sudah banyak dilakukan oleh India dan Pakistan tetapi hingga saat ini belum ada kata sepakat untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah berumur lebih dari enam dekade.

Setiap kali muncul capain-capaian positif untuk menyelesaikan masalah Kashmir, pada saat yang sama muncul gangguan-gangguan yang berusaha menggagalkan capaian-capaian positif yang telah dirumuskan secara susah payah, termasuk aksi terorisme di Mumbai kali ini.

Meskipun dalam beberapa bulan terakhir terjadi letupan domestik di Kashmir karena masalah komunal Hindu – Muslim, tetapi secara umum suasana di Kashmir masih menunjukkan adanya keadaan kondusif untuk menuju Kashmir yang lebih baik. Hubungan diplomatis yang telah dibuka kembali oleh kedua negara setelah perang Kargil telah membawa angin perubahan hubungan India – Pakistan, terutama terkait masalah Kashmir. Kesepakatan untuk membuka jalur bis yang menghubungkan Kashmir yang dikuasai Pakistan dan Kashmir yang dikuasai India sebagai usaha normalisasi hubungan kedua wilayah yang dipersengketakan, pemberian kemudahan pergerakan antar penduduk di kedua wilayah dan niat baik kedua pemimpin India dan Pakistan untuk menyelesaikan masalah Kashmir seolah menjadi tidak ada artinya dengan terjadinya teror di Mumbai. Para teroris berhasil mencapai tujuan mereka untuk mengganggu perbaikan hubungan bilateral India dan Pakistan.

India menyalahkan Pakistan karena tidak sungguh-sungguh memerangi terorisme sementara Pakistan menolak dianggap sebagai pelindung pelaku teror dengan melakukan penangkapan terhadap beberapa tokoh Islam garis keras dan penyerangan terhadap kantong-kantong teroris di Pakistan. Tetapi keputusan Pakistan untuk tidak menyerahkan/menangkap orang-orang yang masuk dalam daftar hitam teroris yang dibuat Pemerintah India dengan dalih bahwa Pakistan akan mengadili sendiri para pelaku teror seakan memperkuat anggapan ketidaksungguhan Pakistan dalam perang melawan teror.

Pranab Mukherjee, Menteri Pertahanan India, menyatakan bahwa India tetap membuka semua pilihan yang ada untuk menghancurkan teroris. Namun begitu, hingga saat ini pemerintah India tidak bertindak gegabah dengan serta merta melakukan serangan udara terhadap kantong-kantong teroris di Pakistan seperti yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat pasca peristiwa teroris 9/11 ke Afghanistan bukan berarti menurunkan ketegangan diantara kedua negara nuklir Asia Selatan. India masih memberikan kesempatan kepada Pakistan untuk membuktikan kesungguhannya dalam memerangi terorisme.

Kemungkinan India melakukan serangan terhadap kantong-kantong teroris di Pakistan tetap ada bila Pakistan tidak melakukan tindakan yang signifikan untuk memerangi teroris..

Keadaan ini seolah menunjukkan keberhasilan tindakan para pelaku teror Mumbai untuk mengganggu stabilitas kawasan, terutama terkait hubungan bilateral India – Pakistan. Sejarah kelam hubungan bilateral kedua negara yang tengah menuju perbaikan seakan menjadi terpuruk kembali karena ulah para teroris ini.

Demokrasi Sebagai Alternatif


Asia Selatan adalah wilayah yang penuh dengan dinamika. Kekayaan budaya, bahasa, agama, suku bangsa dan ideologi memberikan pengaruh yang kuat terhadap dinamika kawasan Asia Selatan dan demokrasi telah memberikan kesempatan kepada perbedaan yang ada ini untuk bertumbuh kembang. India adalah negara demokrasi terbesar di dunia dan mempunyai posisi penting di Asia Selatan. Begitu juga dengan Pakistan. Posisi strategis Pakistan yang berada di ujung pintu masuk kawasan kaya minyak di Asia Barat seakan memberikan kesempatan yang menjanjikan bagi Pakistan untuk bisa memainkan peranan penting di kancah dunia internasional. Penciptaan stabilitas politik domestik melalui proses demokratisasi akan membantu Pakistan dalam memainkan peranan ini.

Sejarah kelam pengalaman demokrasi di Pakistan saat ini sedang diuji kembali dengan terpilihnya Asif Zardari sebagai Presiden Pakistan setelah partai politik yang dipimpinnya mendapatkan dukungan suara terbanyak dalam pemilu bulan Pebruari lalu. Sebagai Presiden yang dipilih secara populer, Zardari mempunyai kesempatan yang besar untuk membawa perubahan di Pakistan. Militer Pakistan yang begitu berkuasa harus bisa dikontrol sebagaimana terjadi di India.

Selama sejarah berdirinya, militer India selalu berada dibawah kontrol sipil dan bersikap netral dalam proses politik yang ada. Keadaan di India ini telah membantu proses demokratisasi di India dan sikap yang dipilih India dalam menghadapi krisis yang saat ini tengah berlangsung. Keputusan PM India Manmohan Singh untuk merombak sistem pertahanan anti teror dalam 100 hari dengan membentuk sebuah badan koordinasi anti teror adalah sebuah langkah positif yang bisa membantu persiapan India dalam menghadapi kemungkinan serangan terorisme di masa yang akan datang. Kegagalan intelejen dalam mendeteksi ancaman teror Mumbai dikarenakan minimnya koordinasi antar agen penegak hukum di India sehingga informasi ancaman teror yang telah didapat tidak dapat ditindaklanjuti. Sebuah sistem intelijen dan keamanan yang terkoordinasi akan bisa membantu mencegah terjadinya serangan teroris serupa.

Selain itu, peningkatan kapasitas para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam masalah terorisme, akan bisa mendukung keksuksesan sistem yang dibentuk. Dan satu hal yang penting untuk ditekankan disini adalah peranan masyarakat dan media di dalam menyikapi ancaman teror.

Salah satu penyebab keberhasilan teroris menyandera India selama lebih kurang 60 jam adalah karena adanya peran media yang tidak mampu melakukan self-censorship. Siaran langsung drama terorisme dan usaha penangkalannya oleh penegak keamanan India telah memungkinkan dalang teror Mumbai memberikan instruksi kepada anak buahnya melalui jaringan komunikasi yang tersedia. Self-censorship akan menjadikan pelaku media lebih bertanggungg jawab di dalam memainkan peranannya dalam menangkal terorisme.

Reportase ekslusif yang dilakukan oleh media di Indonesia beberapa waktu lalu kepada para tertuduh bom Bali sebelum pelaksaan eksekusi juga sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap sikap khalayak atas ’jihad’ yang dilakukan Amrozi dan kawan-kawan. Sebagai korban terorisme, Indonesia juga harus bisa melakukan hal yang sama untuk mencegah terjadinya serangan terorisme di masa yang akan datang.

Sebagai penutup, terorisme adalah masalah global yang saat ini dihadapi oleh semua negara. Peristiwa Mumbai akhir bulan lalu seakan membuka mata dunia bahwa terorisme bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Diperlukan usaha strategis bersama dari semua elemen masyarakat untuk bisa mengalahkan terorisme. Langkah-langkah politis, diplomatis dan strategis harus digunakan dengan tepat untuk menyikapi efek dari sebuah serangan teror. Tragedi Mumbai harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk tetap berkepala dingin dan memperhitungkan semua respon yang diambil untuk menghindari kemungkinan munculnya efek negatif seperti yang diharapkan oleh para pelaku teror.

Sikap India untuk mencari langkah-langkah diplomatis dalam menyelesaikan masalah teror Mumbai harus didukung oleh semua pihak, terutama pemerintah Pakistan dengan merealisasikan janjinya untuk memerangi terorisme di Asia Selatan dan memperbaiki hubungan bilateral India – Pakistan.

SELENGKAPNYA...

Your Ad Here

Thursday, April 03, 2008

Ancaman Kejahatan Transnasional

Tahun 2001, nama Osamah bin Laden mengisi halaman muka setiap surat kabar di seluruh penjuru dunia. Tuduhan sebagai dalang penghancuran World Trade Center di New York pada tanggal 11 September 2001 mencuatkan namanya sebagai teroris nomor satu. Akhir bulan Maret 2008, Geert Wilders, seorang anggota parlemen negeri Belanda, menuai kecaman dari umat Islam di dunia karena ulahnya mempublikasikan film dokumenter berisi penghinaan terhadap Islam melalui internet. Pada saat yang sama, tiga orang warga negara Malaysia ditangkap petugas bea dan cukai Bandara Soekarno-Hatta karena berusaha menyelundupkan obat psikotropika jenis sabu sebanyak 9,3 kg ke Indonesia.

Kejadian-kejadian diatas merupakan dampak dari globalisasi dan kemudahan pergerakan manusia antar negara atau biasa dikenal dengan istilah pergerakan transnasional.

Istilah transnasionalisme pertama kali muncul di awal abad ke 20 untuk menggambarkan cara pemahaman baru tentang hubungan antar kebudayaan. Ia adalah sebuah gerakan sosial yang tumbuh karena meningkatnya interkonektifitas antar manusia di seluruh permukaan bumi dan semakin memudarnya batas-batas negara. Perkembangan telekomunikasi, khususnya internet, migrasi penduduk dan terutama globalisasi menjadi pendorong perkembangan transnasionalisme ini.

Menurut Thomas L. Friedman, globalisasi yang menjadi pendorong utama gerakan transnasionalisme adalah sebuah sistem dunia abad 21 yang menitikberatkan kepada integrasi dunia yang tidak mengenal sekat sama sekali. Selain penerapan konsep pasar bebas, runtuhnya tembok Berlin dan munculnya internet merupakan tonggak penting bagi babak baru yang dinamakan globalisasi. Menurut Friedman, globalisasi memiliki tiga landasan keseimbangan: (1) keseimbangan tradisional yang menandai hubungan antar bangsa (nation state); (2) keseimbangan antara suatu bangsa/negara dengan pasar ekonomi dunia (global market); dan (3) keseimbangan antara individu dan negara (individual and the nation state).

Apabila landasan pertama menitikberatkan kepada peran negara, landasan kedua lebih menonjolkan peran pasar di dalam menentukan kejadian-kejadian yang ada di dunia. Super power dan supermarket mendominasi kedua landasan ini. Sementara itu, keseimbangan ketiga muncul ketika batas negara telah runtuh dan dunia telah dihubungkan satu dengan lainnya dengan sebuah jaringan yang sangat luas. Hal ini memungkinkan bagi perorangan/individu untuk tampil di panggung dunia tanpa perantara negara dan mampu mempengaruhi pasar maupun keberadaan sebuah negara. Pada tingkatan inilah muncul apa yang dinamakan dengan super-empowered individuals yang mana individu-individu ini dapat berbuat apa saja di panggung dunia, baik ataupun buruk, yang dapat merepotkan dunia.

Oleh karena itu, fenomena Osamah bin Laden, Geert Wilders ataupun upaya penyelundupan obat terlarang oleh tiga WN Malaysia ke Indonesia yang ditulis diawal artikel ini dapat dikategorikan dalam masalah ini.

Dengan memanfaatkan kemudahan-kemudahan akses telekomukasi, transportasi dan teknologi, super-empowered individuals mampu menjalankan aksi-aksinya dengan mudah dan efek yang ditimbulkan akan dapat diketahui dan dirasakan oleh seluruh penduduk dunia dalam waktu yang sangat singkat. Globalisasi telah membuka kesempatan bagi individu-individu yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kejahatan transnasional dan fenomena ini tidak bisa lagi dihindarkan, termasuk oleh Indonesia.

Mengantisipasi Kejahatan Transnasional

Sisi positif dari globalisasi adalah bahwa ia mendorong tumbuhnya masyarakat sipil yang menyadari perannya dalam proses demokratisasi, seperti yang saat ini terjadi di Indonesia. Keterbukaan yang manjadi ciri globalisasi juga telah membuka peluang untuk mempermudah transfer teknologi sehingga bisa membantu percepatan proses pembangunan dan penyiapan sistem keamanan nasional di suatu negara untuk menghadapi kejahatan transnasional.

Sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, ancaman kejahatan transnasional bukanlah omong kosong belaka bagi Indonesia. Selain penyelundupan obat-obat terlarang dari luar ke dalam, terorisme, pembalakan liar dan tranportasi manusia (human trafficking) merupakan ancaman yang sangat nyata bagi Indonesia. Kerjasama internasional sangat diperlukan untuk menghentikan ancaman kejatahan ini.

Oleh karena itu pengadopsian Konvensi PBB melawan Kejahatan Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention against Transnational Organized Crime) sangat penting bagi penyiapan sistem keamanan nasional yang komprehensif di Indonesia. Melalui konvensi ini, akan bisa dibentuk sebuah sistem keamanan nasional yang melibatkan kerjasama dengan berbagai pihak, dalam maupun luar negeri, sehingga memungkinkan untuk saling membantu dan bertukar strategi dalam mengahadapi kejahatan transnasional. Sehingga peluang untuk membendung dan memerangi kejahatan transnasional akan semakin besar.

Selain itu, pemerintah Indonesia juga harus lebih jeli dan sensitif untuk mencari akar dari tindakan kriminal ini. Menurut hemat saya, kejahatan-kejahatan transnasional yang selama ini terjadi – terorisme, pembalakan liar, penyelundupan obat terlarang ataupun human trafficking – adalah akibat dari kesenjangan ekonomi-sosial yang ada di dalam masyarakat. Saya percaya apabila pemerintah mampu menyediakan fasilitas-fasilitas yang bisa digunakan untuk mengkaryakan rakyatnya dan menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi angkatan kerja yang sekarang ini banyak menganggur kejahatan transnasional seperti tersebut diatas akan dengan sendirinya bisa diminimalkan.

SELENGKAPNYA...

Your Ad Here

Perlukah Memboikot Beijing?

Semenjak kerusuhan di Lasha awal bulan lalu setelah penangkapan sekitar 60 biksu memenuhi halaman depan berbagai surat kabar di dunia, muncullah tekanan dari berbagai pihak untuk memboikot pelaksanaan Olimpiade di Beijing bulan Oktober nanti. Presiden Perancis, Nicholas Sarkozy, telah menyuarakan rencana ini dan melalui Menteri Luar Negerinya, Bernard Kouchner, Perancis meminta kepada Uni Eropa untuk menghukum Cina dengan melakukan boikot pada saat upacara pembukaan Olimpiade nanti.

Robert Meynar, pimpinan organisasi Reporters without Borders, meminta hal yang sama dan menyerukan kepada negara-negara pengusung demokrasi di dunia untuk memberanikan diri untuk berkata tidak dan memboikot Olimpiade Beijing.

Sabotase terhadap Olimpiade juga pernah terjadi sebelumnya. Ketika Moskow menjadi tuan rumah Olimpiade 1980, banyak negara Barat yang memboikot pelaksanaan Olimpiade. Hal in dilakukan karena suhu politik perang dingin saat itu sangat tinggi.

Beberapa waktu lalu, tepatnya bulan Juni 2007 di New Delhi, sebuah grup yang menamakan dirinya "Friends of Tibet" menyerukan kepada dunia untuk menggunakan Olimpiade Beijing tahun 2008 sebagai momentum untuk mengangkat isu Tibet ke dunia internasional. Olimpiade Beijing adalah sebuah kesempatan bagi rakyat Tibet untuk menunjukkan diri dan melakukan protes kepada Beijing. Sebuah seruan juga diumumkan untuk melakukan protes di seluruh penjuru dunia dan perjalanan kaki rakyat Tibet di India dan Nepal ke Lasha bersamaan dengan pelaksanaan upacara pembukaan Olimpiade.

Di seberang samudera Atlantik, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat juga berusaha mencegah rencana Presiden Bush untuk menghadiri acara pembukaan Olimpiade di Beijing.

Tetapi, apakah kita benar-benar perlu untuk memboikot Olimpiade Beijing?

Masih jelas dalam ingatan saya pada Juli 2006 lalu ketika Pelti (Persatuan Tenis Seluruh Indonesia) memutuskan untuk tidak mengirimkan tim Piala Federasi Indonesia ke Israel untuk bermain melawan tim Israel sebagai bentuk protes atas perlakukan pemerintah Israel di Palestina. Hasilnya, tim Israel menang tanpa harus bertanding dan tim Indonesia harus menanggung hukuman dari ITF karena menolak bermain. Selain sanksi administratif, tim Piala Federasi Indonesia juga dilarang untuk mengikuti kompetisi selama satu tahun penuh. Baru tahun lalu mereka bisa mengikuti kembali kompetisi tenis beregu wanita ini.

Sebagai seorang penyuka tenis, saya kecewa terhadap kejadian ini karena usaha keras yang dilakukan oleh para pemain Piala Federasi Indonesia di New Delhi pada tahun 2005 untuk memperebutkan posisi di babak play-off hilang begitu saja. Politik telah merusak keindahan permainan tenis.

Namun begitu, sebagai seorang Indonesia, saya sangat memahami betul keputusan untuk melakukan boikot ini. Rakyat dan pemerintah Indonesia sudah lama terkenal dengan dukungannya kepada usaha rakyat Palestina untuk merdeka dari penjajahan Israel. Ketidakadilan dan kekerasan di Palestina oleh pemerintah Israel harus dihapuskan bagaimanapun caranya.

Keputusan serupa seperti diambil oleh tim Piala Federasi Indonesia juga pernah terjadi pada tahun 1974 ketika tim Piala Davis India memutuskan untuk tidak berangkat ke Afrika Selatan sebagai protes atas politik apartheid yang dipraktekkan oleh pemerintah Afrika Selatan.

Jadi, kembali ke pertanyaan yang diajukan di artikel ini, saya berpendepat bahwa kita tidak perlu untuk memboikot Olimpiade Beijing. Sebab Olimpiade ini merupakan pesta olah raga dan politik tidak boleh mencampurinya.

Terus terang, saya sangat menaruh simpati saya kepada rakyat Tibet dan memberikan dukungan sepenuhnya kepada usaha mereka untuk membebaskan diri dari keadaan yang ada sekarang. Tetapi saya juga menginginkan adanya pelaksanaan Olimpiade yang sukses, yang bebas dari politik. Oleh karena itu kita harus mendukung usaha pemerintah Cina untuk menyelenggarakan pesta olah raga dunia ini dengan sukse.

Sebab, apabila kita memag benar-benar ingin memboikot Olimpiade Beijing, kita harusnya melakukan hal ini sejak awal, ketika Beijing terpilih menjadi tuan rumah pelaksanaan Olimpiade tahun 2008. Apabila sekarang kita mencoba untuk menggagalkan terlaksananya Olimpiade Beijing, ini sama halnya dengan seorang yang munafik dan pengecut yang tidak berani berkata tidak secara terus terang tetapi sekarang berusaha membujuk dan merayu orang untuk memboikot Olimpiade Beijng sebagai usaha untuk mencuri perhatian dunia bahwa dia bersimpati dengan nasib rakyat Tibet.

Bagaimana dengan pelanggaran HAM di Iraq, di Afghanistan atau di Guantanamo Bay? Apakah tidak perlu di protes?

Saya percaya bahwa Tibet adalah masalah domestik pemerintah Cina dan pemerintah Cina sedang berusaha untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, sebagai sebuah usulan, untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Tibet, sudah seharusnya jalan dialog diambil oleh pemerintah Cina. Sebab hanya melalui dialoglah permasalahan di Tibet bisa diselesaikan. Sebaliknya, apabila pemerintah Cina melakukan pendekatan militer, saya yakin bahwa hal ini hanya akan menjadi bumerang dan meningkatnya kebencian dan rasa ingin memberontak rakyat Tibet. Dengan mensejajarkan Dalai Lama sebagai mitra dialog pemerintah Cina, saya yakin bahwa permasalahan di Tibet akan segera selesai dan Olimpiade bisa berjalan dengan sukses.

SELENGKAPNYA...

Your Ad Here

Monday, March 31, 2008

Peran Bhiksu dan Perubahan Sosial di Masyarakat

Dalam tradisi agama Budha, urusan dunia jauh dari perhatian para bhiksu. Mereka lebih berfokus kepada urusan spiritual dan kesempurnaan hidup. Oleh karena itu, apabila seorang penganut agama Budha memutuskan untuk memilih jalan hidup sebagai seorang bhiksu, dia harus rela meninggalkan segala keinginan duniawi dan menyerahkan seluruh hidupnya untuk mencapai kesempurnaan spiritual.

Akan tetapi, fenomena yang terjadi di Myanmar dan Tibet beberapa waktu lalu seolah berlawanan dengan tradisi ini. Para bhiksu terlihat terlibat langsung dengan urusan dunia. Di Myanmar, ratusan bhiksu berjalan beriringan di jalan-jalan utama di ibukota Myanmar untuk melakukan demonstrasi damai menuntut keadilan dan restorasi demokrasi di Myanmar. Penderitaan panjang rakyat Myanmar dibawah kekuasaan pemerintahan militer telah menggerakkan orang-orang suci ini keluar dari dunia yang selama ini mereka ikuti dengan disiplin.

Hal serupa juga terjadi di Tibet beberapa waktu lalu dimana para bhiksu melakukan demonstrasi damai di jalan utama di Lasha, ibukota Tibet, atas ketidakadilan yang selama ini terjadi dan untuk meminta kebebasan yang lebih besar bagi rakyat Tibet dari pemerintah Cina. Para bhiksu merasa bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyuarakan penderitaan rakyat Tibet kepada pemerintah Cina dan kepada komunitas internasional supaya mereka tahu keadaan yang sebenarnya yang terjadi di Tibet setelah bertahun-tahun berada di bawah kekuasaan Cina.

Tetapi, mengapa para orang suci ini memberontak dan terlibat dengan permasalahan dunia yang selama ini seolah jauh dari kehidupan mereka?

Jawabnya adalah bahwa para bhiksu ini juga manusia, yang menjadi bagian tak terpisah dari komunitas dimana mereka tinggal. Bahwa mereka menempati tempat yang paling terhormat di dalam hirarki masyarakat Budha telah membuat mereka mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk menjaga keseimbangan kehidupan di dalam masyarakat. Maka, apabila kemudian muncul ketidakadilan yang merusak keseimbangan kehidupan di dalam sebuah masyarakat, adalah tugas para bhiksu untuk menghilangkannya demi untuk menjaga dan mengembalikan keseimbangan hidup ini. Oleh karena itu, keputusan para bhiksu untuk memilih jalan agitasi tidak boleh dipahami sebagai penyimpangan dari jalur kehidupan mereka tetapi hal ini merupakan bentuk nyata dari tanggung jawab mereka untuk menjaga keseimbangan kehidupan dan sebagai implementasi nyata dari ajaran sang Budha.

Di Myanmar, para bhiksu tidak lagi bisa mentoleransi ketidakadilan yang selama ini telah dirasakan oleh rakyat Myanmar. Mereka telah hidup di dalam ketidakadilan dan hak-hak mereka sebagai warga negara telah diambil paksa oleh pemerintahan militer Myanmar. Karenanya, ketidakadilan ini harus dihapuskan dari bumi Myanmar.

Di Tibet, para bhiksu juga tidak lagi bisa mentoleransi perlakuan yang telah diberikan oleh penguasa Cina terhadap rakyat Tibet. Seperti di Myanmar, rakyat Tibet telah menjadi orang asing di tempat kelahirannya sendiri. Meskipun menurut data dari London School of Economics menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan di Tibet (12 persen per tahun), tetapi hal ini tidak bisa merubah status ekonomi-sosial rakyat Tibet. Sebaliknya, minoritas suku Cina Han yang masuk ke Tibet sebagai salah satu cara pemerintah Cina untuk menguasai Tibet yang menikmati pertumbuhan ekonomi yang fantastis ini sementara rakyat Tibet tetap hidup di dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Hanya 40 persen penduduk Tibet yang melek hufuf dan hanya 15 persen dari mereka yang mengenyam pendidikan, angka yang terpaut jauh dari rata-rata tingkat pendidikan dan melek huruf di Cina (sekitar 60 persen). Oleh karena itu, rakyat Tibet harus berjuang melawan ketidakadilan ini dan para bhiksu telah mengambil tempat yang paling depan di dalam perjuangan ini.

Tidak semua inisiatif oleh para orang suci ini menghasilkan perubahan nyata. Di Myanmar, aksi damai para bhiksu menuai respon keras dari pemerintah militer. Tentara diturunkan untuk membubarkan dengan paksa demonstrasi damai ini dan korbanpun berjatuhan. Angin perubahan yang dihembuskan oleh para orang suci ini hanya membentur dinding-dinding megah istana para penguasa militer di Myanmar dan ketidakadilan tetap berlangsung.

Di Tibet, pemerintah Cina tidak mau mendengar permintaan otonomi yang lebih besar bagi Tibet seperti yang selama ini diserukan oleh pemimpin spiritual Tibet Dalai Lama. Protes damai para bhiksu di Lasha beberapa waktu lalu belum juga membuahkan hasil dan tangan besi kekuasaan pemerintah Cina di Tibet tetap berlangsung.

Namun, apa yang telah dilakukan oleh para bhiksu ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai peranan penting sebagai agen perubahan. Masyarakat internasional harus segera meresponnya dan memberikan tekanan yang lebih keras kepada pemerintah di Myanmar dan Cina untuk melakukan respon positif terhadap permintaan perubahan ini.

Dalam konteks Indonesia, sebagai negara terbesar di ASEAN dan negara yang sedang bertransisi menuju sebuah kehidupan bernegara yang demokratis, Indonesia harus berada di garda paling depan. Pengalaman berharga Indonesia di masa lalu, seperti referendum di Timor Timur pada tahun 1999 dan kehidupan demokrasi setelah kerusuhan Jakarta bulan Mei 1998, bisa dijadikan sumber inspirasi bagi penguasa di Myanmar maupun di Cina untuk melakukan perubahan menuju kehidupan bernegara yang lebih baik. Apabila pemerintah Indonesia bisa melakukan hal ini, saya yakin bahwa keberadaan Indonesia di kancah politik dunia akan semakin diperhitungkan

SELENGKAPNYA...

Your Ad Here