Sunday, February 10, 2008

Dialog sebagai Jembatan Islam-Barat

Globalisasi sedikit banyak memiliki peran atas keadaan ini. Dunia telah menjadi "datar" – menggunakan istilah yang diciptakan oleh Thomas L. Friedman – dan sebuah desa kecil telah tercipta. Setiap dan atau seluruh penduduk di desa tersebut bertubrukan dan bergaul satu sama lain. Globalisasi telah menghapus jarak yang pernah membentang.

Karena itu benturan, friksi, dan persaingan keras menjadi tidak terelakkan. Kelangsungan hidup bagi yang paling tangguh menjadi aturan yang harus dipeluk setiap orang. Kecenderungan saat ini, ketika dominasi peradaban Barat atas desa global semakin jelas, telah membuat kelompok-kelompok lain, dalam hal ini Islam, merasa tidak aman. Perkembangan Islam di Indonesia belakangan ini memberikan contoh bagi fenomena ini.

Beberapa kelompok Muslim di Indonesia mendorong sebuah sikap agresif terhadap Barat. Mereka percaya bahwa Islam tidak sesuai dengan Barat dan berusaha untuk menghancurkan yang terakhir. Jumlah mereka yang kecil, namun agresif, dan sikapnya yang bertentangan dengan "musuh Islam" telah menempatkan kaum Muslim Indonesia pada kedudukan yang sulit karena dicap sebagai radikal dan fundamentalis.

Perasaan tidak aman dan terancam telah mendorong orang untuk mencari ketenangan dan perlindungan dari sesuatu atau seseorang. Ketika sebuah kelompok merasa terancam oleh anggapan dominasi oleh kelompok lain, ia menggali jauh ke dalam dirinya untuk mencari jawaban-jawaban sebagai penolakan atas dominasi ini. Jika Islam terancam oleh peradaban lain – oleh peradaban Barat misalnya – umat Muslim akan menggali jauh ke dalam Islam dan kembali dengan berbagai gagasan dan jawaban untuk menolak dominasi itu. Upaya-upaya penggalian ini mungkin memberikan hasil yang berbeda, bahkan saling berlawanan.

Hasil pertama yang mungkin adalah penolakan kuat dan konfrontasi. Dengan penggalian yang jauh ke dalam Islam, seorang Muslim mungkin menghasilkan sebuah gagasan tentang Islam fundamental yang menolak segala yang berbeda. Gerakan-gerakan fundamentalis atas nama agama kemudian muncul untuk memerangi "musuh". Karena itulah maka dominasi Barat dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap Islam. Ia harus ditolak dan dihadapi dengan segala upaya. Kekerasan dan paksaan harus digunakan sebesar mungkin untuk mewujudkan gagasan ini dan eksitensi para pemeluknya. Lebih jauh, para fundamentalis ini percaya bahwa Islam harus menang atas peradaban Barat, apa pun caranya.

Hasil kedua adalah menggandengkan nilai-nilai moderat dengan prinsip-prinsip Islam dan mengajarkan para pengikutnya untuk menghadapi segala perbedaan secara bijak dan dengan hati terbuka. Umat Muslim arus utama memandang Islam sebagai sebuah jalan kehidupan yang memiliki tingkat toleransi tinggi terhadap kelompok-kelompok atau pengikut agama lain demi terciptanya sebuah masyarakat yang penuh kerukunan di tengah berbagai kesenjangan dan perbedaan. Moderasi adalah kunci, dan Islam mengajarkan para penganutnya untuk menjadi moderat. Segala anggapan ancaman terhadap Islam harus diatasi dengan bijak melalui proses dialog dan pembahasan untuk menemukan jalan tengah serta menghindari konfrontasi dan pemaksaan.

Dari gambaran di atas, kita menemukan bahwa satu sumber dapat memunculkan dua hasil yang berbeda dan sangat berlawanan: yang pertama, perangkulan fundamentalisme dan penggunaan paksaan dan kekerasan; yang kedua, moderasi dan dialog sebagai alat untuk menyelesaikan masalah dan perbedaan.

Sejauh ini, kelompok pertama, walaupun minoritas, telah mendominasi perhatian dengan tindakan-tindakannya yang agresif. Ia telah mencuri pertunjukan dan berhasil melukis sebuah gambaran yang suram tentang Islam: Islam berarti kekerasan, mengacu pada para pengikut kelompok ini. Sementara, kelompok kedua, mayoritas umat Muslim, tetap diam dan tidak dapat mencerminkan nilai-nilai moderat Islam. Ia kelihatannya berjuang untuk menghapus gambaran Islam sebagai sebuah agama kekerasan. Oleh sebab itu, sudah saatnya mendefinisikan kembali Islam.

Islam menolak kekerasan dan penggunaan paksaan untuk menyelesaikan permasalahan. Sebaliknya, Islam jelas-jelas mendorong dialog dan pembahasan untuk menemukan jalan tengah. Umat Muslim harus memahami prinsip tersebut dalam rangka mengubah keadaaan dewasa ini. Saya percaya, penolakan terhadap kekerasan dan pemaksaan dengan suara lantang bersama dengan dorongan bagi dialog dan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan oleh Muslim arus utama akan menghapuskan gambaran Islam sebagai sebuah agama kekerasan.

Tindakan resiprokal juga harus dilakukan untuk berhasil mengubah keadaan. Golongan Non-Muslim, khususnya mereka di Barat, juga harus turut dalam proses ini. Kedua pihak perlu mulai mengembangkan dialog berkelanjutan untuk saling memahami budaya dan peradaban satu sama lain. Hanya melalui proses inilah, perselisihan apapun antara keduanya dalam dunia yang terglobalisasi ini dapat dihindari, dan anggapan bahwa fundamentalisme dan radikalisme dapat ditekan.

PS: Tulisan ini terjemahan dari "Dialogue as a Bridge between Islam and the West" which was published by OhmyNews International

Your Ad Here

0 Komentar:

Post a Comment


Your Ad Here

Your Ad Here


Kembali Depan