Saturday, April 01, 2006

Kesempatan Baru di Timur Tengah

Pada tanggal 28 Maret 2006, rakyat Israel memutuskan untuk menyelesaikan konflik panjang antara Israel dan Palestina melalui kotak pemungutan suara. Partai Kadima (dalam bahasa Ibrani berarti ‘maju kedepan’) mendapatkan tugas untuk mengemban mandat politik rakyat Israel ini. Kadima memenangkan pemilu dan akan membentuk pemerintahan yang baru di Israel. Kemenangan Kadima ini bisa dianggap sebagai stempel pengesahan atas rencana PM Sharon untuk membebaskan Israel dari permasalahan Palestina dan penolakan publik atas kebijakan konfrontasi yang selama ini dianut oleh Partai Likud.

Selain itu kemenangan Kadima ini juga menjadi bukti munculnya wajah baru didalam politik nasional Israel, menggantikan dominasi lama Partai Likud dan Partai Buruh yang selama ini selalu mendominasi peta perpolitikan Israel. Namun begitu, kemenangan ini tidak serta merta memberikan kesempatan kepada Kadima untuk mendominasi politik Israel dan membentuk sebuah kekuatan mayoritas didalam pemerintahan yang baru. Sebab, dengan 28 kursi yang diperoleh partai ini didalam pemilihan umum, Kadima tidak bisa dengan begitu saja menjadi sebuah kekuatan mayoritas di Knesset (Parlemen Israel) seperti yang selama ini digambarkan oleh jajak pendapat sebelum pemilu. Kadima harus membentuk pemerintahan koalisi dengan beberapa partai lain seperti Partai Buruh serta beberapa partai politik lain untuk bisa membangun sebuah pemerintahan baru yang stabil.

Didalam Knesset yang berkekuatan 120 kursi, Kadima masih harus memerlukan sekitar 40 kursi lagi untuk bisa menjadi kekuatan mayoritas. Oleh karena itu, dengan 20 kursi yang didapatkannya didalam pemilu, Partai buruh akan menjadi pemain paling penting dalam usaha Kadima membangun pemerintahan koalisi yang kuat untuk mewujudkan impian Ariel Sharon.

Menuju Perdamaian

Pada akhir Januari lalu, Hamas, sebuah kelompok Islam militan yang selama ini memperjuangkan kemerdekaan Palestina melalui kekerasan, secara mengejutkan memenangkan secara mutlak pemilu demokratis yang dilaksanakan di Palestina. Hamas tidak mau mengakui keberadaan Israel sebagai sebuah negara dan hanya akan melakukan dialog perdamaian dengan Israel apabila pemerintahan Israel bersedia mengembalikan seluruh wilayah yang didudukinya pasca perang tahun 1967.

Di Israel, Kadima, berhasil memenangkan pemilu. Ehud Olmert sebagai pengganti Sharon telah secara berani mengatakan didalam kampanye politiknya bahwa Kadima akan memutuskan sendiri batas internasional negara Israel apabila Kadima berhasil memenangkan pemilu.

Kadima menang, janji politik yang terucap harus direalisasikan. Dan dengan Hamas di Palestina yang sampai sekarang tidak mau mengakui keberadaan Israel dan Kadima yang bersikeras untuk mewujudkan rencana perdamaian sepihak dengan tidak melibatkan Palestina, maka rencana penyelesaian konflik Israel – Palestina secara tuntas dihadapkan pada situasi yang tidak menentu. Inilah dilema proses perdamaian di Timur Tengah yang saat ini terjadi pasca pemilu di Palestina dan di Israel.
Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah mencari solusi terbaik demi untuk mencairkan situasi supaya proses penyelesaian konflik Israel – Palestina ini bisa tercapai secara damai dan menguntungkan semua pihak.

Satu-satunya cara untuk menghentikan usaha penarikan batas internasional negara Israel secara sepihak seperti yang dijanjikan oleh Ehud Olmert adalah dengan memulai kembali proses dialog perdamaian antara kedua pihak. Sebab apabila pemerintah Israel yang baru tetap memutuskan untuk meneruskan rencananya, maka Palestina akan menjadi pihak yang sangat dirugikan.

Dinding pembatas yang selama ini dibangun oleh pemerintah Israel dengan dalih untuk menjaga keamanan nasional Israel, akan menjadi dinding pembatas negara Israel yang melewati dan memecah wilayah-wilayah Palestina yang subur dan beberapa sumber air penting bagi Palestina.

Lebih jauh lagi, apabila visi masa depan Israel versi Kadima ini benar-benar terlaksana, maka “negara Palestina” yang akan dibentuk nanti akan terpecah menjadi tiga atau lima wilayah (apabila Gaza juga diikutkan) semi – independen yang mana setiap wilayah tersebut akan terpisah total antara satu dengan yang lain. Sementara itu, pemerintah Israel akan mempunyai kontrol penuh atas seluruh perbatasan wilayah-wilayah yang menjadi bagian dari “negara palestina” kelak.

Oleh karena itu, untuk menghindari kemungkinan terburuk seperti yang tergambar diatas, kedua pihak, baik Palestina maupun Israel, harus segera menghilangkan rasa tidak percaya diantara kedua pihak dan mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui dialog.

Saat ini Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, adalah pilihan terbaik yang bisa diharapkan sebagai penengah penyelesaian konflik. Meskipun Hamas mungkin tidak akan menyukai pilihan ini, tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa Mahmoud Abbas banyak mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari berbagai pihak, baik di Israel, di AS serta diantara kebanyakan rakyat Palestina. Oleh karenanya, pimpinan Hamas harus secara cepat menyadari hal ini dan menggunakan Abbas sebagai sebuah jalan untuk mendapatkan hasil perundingan yang lebih baik dengan Israel atas bentuk akhir dari “negara Palestina.”

Pada saat yang sama, Ehud Olmert yang akan segera membentuk pemerintahan yang baru di Israel juga harus memperhatikan kepentingan Paletina sebelum memutuskan untuk menarik batas wilayah Israel apabila dia mengharapkan terciptanya keamanan rakyat Israel yang langgeng.

Your Ad Here

2 Komentar:

Anonymous Anonymous Berkata...

You have an outstanding good and well structured site. I enjoyed browsing through it » » »

4:45 AM  
Anonymous Anonymous Berkata...

Best regards from NY! » »

1:03 AM  

Post a Comment


Your Ad Here

Your Ad Here


Kembali Depan