Monday, November 28, 2005

Mahalnya Harga Sebuah Demokrasi

Semenjak jatuhnya Presiden Suharto pertengahan tahun 1998 lalu ditengah gelombang perubahan menuju kehidupan yang demokratis, Indonesia saat ini masih terus dihadapkan kepada berbagai macam gejolak yang terus mengguncang kestabilannya sebagai sebuah kekuatan besar di Asia Tenggara. Gelombang radikalisme Islam yang selama sekian lama berada didalam kekangan kontrol rezim militer Suharto menggeliat dan menampakkan taringnya ditengah masyarakat yang sedang dilanda krisis melalui ledakan-ledakan bom diberbagai tempat penting di Indonesia: bom Bali tahun 2002, bom di Hotel JW Marriot Jakarta tahun 2003, bom di kedutaan besar Australia di Jakarta tahun 2004 dan bom II Bali tanggal 1 Oktober 2005 lalu. Ancaman terhadap stabilitas negara ini tidak hanya menggambarkan ketidakmampuan kekuatan pengaman didalam masyarakat didalam menjalankan tugasnya tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi didalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini.

Keenggganan pemerintah untuk memperketat kontrolnya terhadap kelompok-kelompok fundametalis Islam yang telah menghancurkan tempat-tempat keagamaan agama lain selama dua tahun terakhir dan serangan yang berulang kali dilakukan terhadap tempat-tempat ibadah milik sekte Ahmadiyah karena anggapan tentang penyelewengan keagamaan yang dilakukan oleh sekte ini serta keputusan dari MUI untuk melarang adanya pluralisme dalam pengajaran agama adalah problem lain yang masih harus dihadapi.

Tidak diragukan lagi bahwa negara dengan penduduk Muslim paling besar di dunia ini sedang menghadapi permasalahan internal yang sulit. Selama tujuh tahun terakhir, gerakan-gerakan radikalisme keagamaan telah mewarnai kehidupan masyarakat melalui berbagai macam konflik keagamaan sebagaimana yang telah terjadi di Maluku dan Poso. Ditambah lagi dengan keinginan JI untuk mendirikan kekhalifahan di Asia Tenggara dimana hal ini telah menumbuhkan berbagai macam organisasi-organisasi pecahan seperti Thoifah Muqatilah (Unit Perang) milik Azahari Husin dari Malaysia dengan agenda yang lebih radikal telah memperkeruh suasana keamanan dan keharmonisan didalam masyarakat sebagaimana yang terjadi dengan ledakan-ledakan bom yang telah menimbulkan korban nyawa-nyawa tak berdosa.

Ketidakmauan Pemerintah untuk dianggap sebagai antek Amerika Serikat dalam perang melawan terorisme oleh mayoritas masyarakat Muslim telah mengakibatkan keengganan Pemerintah untuk mengontrol sekuat mungkin kelompok-kelompok radikal ini sehingga mereka dengan mudah berkembang dan membuat teror didalam masyarakat. Dan karenanya saat ini Pemerintah dan masyarakat harus membayar dengan mahal keengganan ini melalui usaha-usaha keras untuk menghentikan konflik SARA yang berkepanjangan dan bersiaga penuh dari segala kemungkinan terjadinya serangan teroris dengan berbekal sistem keamanan dan intelejen yang sampai beberapa waktu terakhir masih bisa dikatakan kurang memadai.

Namun begitu, harus dipahami disini bahwa radikalisme yang terjadi di Indonesia adalah sesuatu yang berbeda apabila dibandingkan dengan gerakan-gerakan lainnya dibelahan dunia Islam yang lain. Sebab meskipun gerakan-gerakan radikalisme ini telah memberikan akibat yang tidak sedikit, tetapi pada kenyataannya jumlah mereka sangatlah kecil dan tidak berkembang dengan cepat. Dan kenyataan tentang pemahaman umum tentang penyerangan terhadap Islam – baik itu di Palesitina, Iraq atau ditempat lain – mayoritas umat Islam di Indonesia tetap berlaku moderat. Ini semua adalah buah dari kenyataan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak melalui penaklukan melainkan melalui perdagangan dan interaksi sosial secara evolusioner sehingga Islam di Indonesia tidak hanya kehilangan beberapa karakteristik seperti Islam di bagian dunia lain tetapi Islam di Indonesia juga terkontaminasi oleh tradisi kebudayaan yang ada di Indonesia jauh sebelum kehadiran Islam. Islam seperti inilah yang sebenarnya termanifestasikan didalam peta perpolitikan nasional: partai-partai Islam mampu memperoleh dukungan suara yang cukup signifikan tidak dengan membuat agenda perealisasian negara Islam di Indonesia tetapi sebaliknya dengan hanya bermodalkan agenda tentang pemerintahan yang bersih dan yang bisa menjamin kesejahteraan rakyat.

Selain itu, sejarah tidak bisa dilupakan bahwa gerakan radikalisme Islam timbul dan berkembang di Indonesia sebagai reaksi masyarakat Muslim terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang kemudian ditekan dan dikontrol selama lebih dari 30 tahun oleh Jenderal Suharto dengan dukungan dari Barat. Ketika Orde Baru jatuh pada tahun 1998 maka seolah-olah penutup tabung hidrogen meledak dan membuatnya terbuka. Radikalisme menyebar dan berkembang dengan mudahnya setelah penyumbat yang selama ini menjadi pengekang pelampiasan aspirasinya hancur.

Satu hal menarik dan positif yang harus dijelaskan disini bahwa meskipun setelah tahun jatuhnya Jenderal Suharto pada tahun 1998 Indonesia saat ini mengalami goncangan dan ancaman keamanan dari gerakan-gerakan kelompok radikal pada saat yang sama Indonesia telah berubah menjadi sebuah negara demokrasi yang sedang berkembang. Pemilihan Presiden langsung yang pertama kali dilakukan di Indonesia pada tahun 2004 memberikan arti baru dalam kehidupan berdemokrasi bagi masyarakat Indonesia dan menjadi sebuah pertanda kelangsungan proses demokratisasi di Indonesia sehingga kemungkinan untuk kembali kepada autoritarianisme semakin menjauh. Selain itu keinginan pemerintah Indonesia saat ini untuk tidak meniru praktek penahanan orang-orang yang dicurigai terlibat dalam gerakan militan dan terorisme tanpa bukti yang jelas untuk waktu yang tidak ditentukan seperti yang terjadi di Malaysia, Singapura maupun Amerika Serikat merupakan sebuah praktek baru dalam menghomarti hak asasi dan praktek hukum di Indonesia. Dan meskipun praktek semacam ini tidak begitu populer dikalangan beberapa kelompok tetapi pada saat yang sama terdapat semacam kesepahaman disetiap orang bahwa memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk menyuarakan aspirasinya adalah sebuah harga yang harus dibayar atas nama demokrasi. Dengan praktek-praktek ini Indonesia telah menunjukkan kepada dunia internasional bahwa sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bisa melaksanakan demokrasi dengan baik. Namun begitu kenyataan yang ada di lapangan saat ini juga menjadi bukti kepada dunia bahwa sebuah proses transisi memerlukan bayaran yang sangat mahal.

Your Ad Here

1 Komentar:

Blogger G. Afshan Berkata...

Qisa'i Sahib, aslmlkm.wr.wb., salam kenal. O ia, bolehkah postingan Anda ini, kami tempel di Mesjid kami? Sehingga para Ahmadi di mesjid kami bisa melihatnya? Trima kasih, jzkmllh.ahsnl.jz.. Waslmlkm.wr.wb..

5:40 PM  

Post a Comment


Your Ad Here

Your Ad Here


Kembali Depan