Sunday, April 03, 2005

Agenda Penting Partai Politik di Indonesia

Hasil muktamar dan kongres tiga partai besar di Indonesia (PKB, PDI-P dan PAN) yang baru usai dilaksanakan beberapa waktu lalu hanya menghasilkan sebuah proses pelanggengan pengaruh personal seorang tokoh atau patron politik. Gus Dur didalam PKB, Megawati didalam PDI-P dan Amien Rais didalam PAN. Perubahan pimpinan didalam PKB dan PAN hanyalah drama politik pelestarian para tokoh. Mereka memberikan restu kepada Muhaimin Iskandar (PKB) dan Sutrisno Bachir (PAN) untuk menjabat sebagai ketua umum partai sementara pada kenyataannya, gerak dan langkah partai tetap didalam genggaman dan kontrol para patron. Terpilihnya kembali Megawati sebagai ketua umum PDI-P merupakan bukti lain yang mendukung tradisi restu didalam partai politik ini.

Ketika para patron ini mengusung agenda perubahan melalui pendirian partai-partai politik, mereka dengan gencarnya menolak pelanggengan status quo yang tidak mengenal istilah reformasi. Tetapi ketika mereka sendiri dihadapkan kepada perubahan didalam kendaraan politik yang selama ini mereka punyai, mereka seolah menjadi kerdil dan ketakutan untuk menerima kenyataan perlunya darah dan semangat baru yang bisa meneruskan cita-cita perubahan di Indonesia.

Kontradiksi sikap yang ditunjukkan oleh tiga pendekar demokrasi ini seolah membuat kita tertipu dengan janji yang selama ini digembar-gemborkannya: Indonesia baru yang demokratis, aman, makmur, adil dan sejahtera. Oleh karena itu saat ini diperlukan agenda baru untuk mereformasi kembali kehidupan kepartaian di Indonesia sebelum semakin terjebak didalam lingkaran nafsu pribadi dan golongan. Sebab tanpa adanya partai politik yang bisa menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat yang bisa menjadi pengontrol jalannya sebuah pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab, maka cita-cita demokrasi di Indonesia tidak akan pernah bisa terwujud.

Dua agenda penting untuk mereformasi partai politik di Indonesia akan dibahas didalam tulisan singkat ini. Pertama adalah perlunya tradisi demokrasi internal partai, dan kedua adalah perlunya partai oposisi pemerintah yang bertanggung jawab.

Demokrasi Internal Partai

Berdasarkan pemilihan beberapa ketua baru partai besar di Indonesia yang baru saja dilaksanakan, terlihat jelas adanya penyelewengan nilai demokratis didalam kehidupan internal partai. Meskipun pemilihan ketua umum secara aklamasi seperti yang terjadi didalam PKB, PDI-P maupun PAN ini tidak sepenuhnya menyimpang dari roh demokrasi, tetapi cara aklamasi yang dilaksanakan didalam muktamar atau konres partai ini telah mengalami ‘cacat’ sejak awal (Syamsuddin Haris, Kompas, 20 April 2005). Sebagian dari syarat prosedural didalam penentuan pimpinan baru tidak bisa dipenuhi oleh panitia penyelenggara karena begitu besarnya syahwat politik untuk mempertahankan seseorang dan sebaliknya menolak seseorang dan atau kelompok elite lainnya. Akibatnya proses demokrasi didalam partai yang bisa digunakan sebagai titk tolak pelaksanakan demokratisasi di Indonesia gagal dilaksanakan. Mereka menjadikan partai politik sebagai lahan dan jalan pintas pribadi untuk mempercepat mobilitas secara politik dan ekonomi.

Absennya tradisi proses demokrasi didalam tubuh partai ini bisa mempengaruhi sikap mereka didalam kancah politik nasional. Arus perubahan yang masih melaju dengan deras di negeri ini akan terganggu dengan sikap para pendekar demokrasi yang takut dihadapkan kepada perubahan. Phobia ini hanya akan mengembalikan pengalaman sejarah buruk tentang status quo.

Partai Oposisi yang Bertanggung Jawab

Sampai saat ini, setelah terjadinya pemilu demokratis ketiga didalam sejarah Indonesia merdeka (1955, 1999, 2004), belum ditemukan satu partai politik yang secara tegas menyatakan sikap beroposisi dengan pemerintah. Tradisi oposisi didalam parlemen yang pernah ada pada tahun 1950an telah hilang karena pembelengguan politik selama lebih dari empat dekade. Gerakan reformasi yang dimulai dengan jatuhnya Presiden Suharto telah memberikan secercah harapan munculnya sebuah partai politik yang bisa menjdi oposisi terhadap pemerintah didalam kehidupan politik kepartaian yang demokratis. Akan tetapi konsep oposisi yang pernah didengungkan oleh beberapa tokoh reformsi ini tidak pernah terwujud.

Ketika PAN hanya mendapatkan 7% suara dari total suara pemilih didalam pemilu tahun 1999, Amien Rais menyatakan sikap politik PAN sebagia partai oposisi bagi pemerintah. Tetapi, didalam pidato pembukan Kongres PAN lalu, seorang Amien Rais yang sama, telah memfrase ulang sikap politik PAN sebagai artai yang akan berlaku objektif terhadap kinerja pemerintah: yang salah dikritik, yang benar didukung. Jelas disini terlihat keragu-raguan sikap politik PAN, sebuah partai politik yang pernah mendeklarasikan diri sebagai partai oposisi apabila kalah didalam pemilu.

Begitu juga dengan Megawati setelah kalah didlam pemilihan eksekutif tahun 2004 lalu. Dia ingin membawa PDI-P sebagai partai oposisi yang betanggung jawab, yang menjadi pengontrol bagi jalannya pemerintahan. Akan tetapi, banyak pihak melihat bahwa sikap politik yang ditunjukkan oleh Megawati ini hanyalah sikap seorang oportunis yang kalah perang, yang ingin menikmati kembali kue kekuasaan yang pernah dimilikinya dan bukanlah pernyataan seorang pelaku politik yang benar-benar bertanggung jawab akan tugasnya sebagai pelayan masyarakat.

Dua agenda penting diatas merupakan kunci awal bagi suksesnya proses demokratisasi di Indonesia. Sebab dengan berkembangnya tradisi proses demokrasi didalam tubuh partai politik, maka pendidikan politik kepada masyarakat tentang demokrasi akan bisa dilaksanakan dengan baik. Selain itu dengan adanya partai oposisi yang bertanggung jawab, yang tidak hanya bisa mengkritik kinerja jelek pemerintah dan mendukung yang bagus, melainkan sebuah partai oposisi yang mempunyai program dan kebijakan alternatif yang bisa ditawarkan, maka akan tercipta sebuah kontrol publik yang lebih baik. Dengan adanya kontrol ini maka kinerja pemerintah akan selalu berada didalam sorotan publik.

Sebagai penutup, adanya partai politik yang bisa menyumbangkan pemikiran yang bisa dilakukan untuk mempercepat pemulihan kehidupan bangsa kita diberbagai bidang kehidupan dan bukan para politisi yang hanya berteriak-teriak tentang demokrasi tetapi pada saat yang sama mereka gagal mendemokratisakan diri sendiri, maka proses demokratisasi didalam negeri ini akan dengan sendirinyabisa berhasil diwujudkan. Wallahu ‘alam.

A. Qisa'i

New Delhi, April 2005

Your Ad Here

0 Komentar:

Post a Comment


Your Ad Here

Your Ad Here


Kembali Depan