Wednesday, September 07, 2005

Dilema dalam "The Great Parivar"

Bahwa kenaikan kekuatan BJP di Parlemen dari 2 kursi pada tahun 1984 menjadi 162 kursi pada tahun 1999 dengan menitikberatkan kepada mobilisasi strategi Hindutva dianggap sebagai salah satu kelebihan di India pada beberapa tahun terakhir. Kebenaran dari pernyataan ini jarang sekali untuk diteliti, atau bahkan dipahami secara benar. Asumsi yang ada adalah bahwa Hindutva merupakan sebuah daerah basis dukungan untuk BJP yang tidak bisa diganggu gugat, dimana hal ini adalah sesuatu yang masih perlu untuk diteliti. Hal ini bertentangan dengan prinsip bahwa fenomena serupa bisa memunculkan arti yang berbeda apabila konteksnya berubah, yang berakhir kepada konsekuensi yang berbeda pula.

Dengan berdasarkan hal ini, dipercaya bahwa setelah kekalahan yang dialami oleh BJP, maka ia akan kembali lagi kepada agenda inti Hindutva untuk mendapatkan kembali pondasi yang hilang. Pihak Parivar telah memulai rencana ini melalui suara-suara keras yang terdapat dalam protes-protes VHP terhadap "penyelewengan" yang terjadi selama enam tahun terakhir. Dalam sikap yang sedikit tertutup, RSS juga telah "menasehati" BJP untuk kembali kepada "ideologi dasar" demi keselamatan dan pertumbuhan partai dimasa depan. Apabila kekuasaan adalah pengikat yang telah menjadikan perbedaan suara didalam NDA dan Parivar bisa dibungkam, maka kemampuan Atal Behari Vajpayee untuk menjaga keseimbangan yang ada telah menjadi kontribusi yang besar terhadap pembungkaman perbedaan ini. Dengan adanya kekalahan, hal ini telah menjadikan pengikat ini lepas dalam suatu keluarga apapun, apakah itu individu ataupun keluarga politik.

Oleh karena itu, mungkin ini adalah satu hal yang bisa dianggap bermanfaat untuk paling tidak mengkontekstualisasikan hubungan antara Hindutva dengan kenaikan BJP kedalam kekuasaan serta kejatuhannya dari pusat kekuasaan.

Dalam politik, seperti halnya didalam berbagai aspek kehidupan yang lain, pengaruh sebuah partai tidak akan membesar dan mengecil hanya dikarenakan oleh kekuatan atau kelemahan yang terdapat didalamnya; hal ini terjadi karena adanya kompetisi dengan partai yang lain yang sama-sama menginginkan tempat yang sama. Oleh karena itu apa "yang lain" lakukan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keuntungan yang diperoleh oleh sebuah pihak. Penurunan yang terjadi didalam kubu Partai Kongres yang dipimpin oleh Rajiv Gandhi setelah kemenangan yang cemerlang pada tahun 1984, telah memberikan keuntungan terhadap semua partai non-Partai Kongres, termasuk didalamnya adalah BJP. Ketika partai-partai non-Partai Kongres mulai bekerja bersama-sama, perbedaan yang berakar dari hubungan BJP dengan RSS muncul kembali. Masalah ini semakin jelas memuncak ketika PM V P Singh menantang Parivar dengan mengumumkan konsesi Mandal tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu.

Rath Yathra tentang masalah Ayodhya yang dilakukan oleh L K Advani – dianggap sebagai Advani Yathra oleh Vajpayee demi menjaga jarak untuk dirinya dari masalah ini – muncul sebagai respon terhadap tantangan ini. Karena V P Singh telah melakukan konspirasi terselubung untuk mendapatkan dukungan politik dari kelompok kasta tertentu, kasta rendah dan kasta terbelakang melalui konsesi Mandal, dimana kasta adalah salah satu cara untuk memobilisasi massa dalam dunia politik India yang tidak akan pernah hilang, maka respons yang diberikan oleh Advani ini bertujuan untuk menggalang dukungan dari kelompok masyarakan kasta tinggi yang merasa telah ditantang dan dipecundangi oleh V P Singh.

Dalam perkataan lain, konsolidasi dukungan terhadap BJP hanyalah merupakan sebuah reaksi. Tidak ada dukungan yang bersifat spontan terhadapnya. Selain itu, VP Singh terbukti menjadi salah seorang yang beruntung dari sikap BJP ini.

Ketika BJP telah merasakan kedekatannya dengan pusat kekuasaan melalui pemilu, mereka menyadari bahwa isu tentang kuil agung Rama, dan ideologi Brahma dalam Hindutva, terbukti terlalu sempit bila dijadikan sumber dukungan dasar dan oleh karenanya berusaha untuk mengembangkan diri tanpa harus meninggalkannya. Oleh karenanya, diperlukan sebuah usaha kongkrit untuk bisa diterima didalam berbagai kelompok yang berbeda. Pengangkatan Vajpayee sebagai tokoh utama BJP yang mampu melakukan akomodasi politik adalah salah satu cara yang paling efektif dalam mewujudkan hal ini.

Tetapi tantangan langsung seperti yang diberikan oleh V P Singh telah hilang dan Parivar tidak mampu menciptakan tantangan serupa dalam pemilu tahun 2004. Oleh karena itu, ini merupakan hal yang meragukan apabila pelaksanaan mobilisasi massa terhadap masalah Ayodhya akan mampu mendapatkan kembali kejayaan BJP yang hilang. Dalam dunia politik, kita tidak bisa mengulang kembali peperangan dalam masalah yang sama. Namun begitu, sepertinya BJP akan melakukan hal seperti ini.

Selain itu, ada juga pelajaran yang bisa dipetik bagi para pendukung sekularisme dari perkembangan politik yang ada. Apabila dukungan yang kuat atas Hindutva telah mengalami kemunduran yang tak terelakkan, sekularisme ateistis ala Nehru sepertinya juga telah mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Melalui sejaran India yang sangat panjang, penonjolan identitas keagamaan seseorang dalam tingkat kenegaraan telah terbukti selalu mendapatkan konsekuensi yang penuh bencana dan goyangnya keseimbangan kekuasaan yang ada. Hal ini juga terjadi dimasa pra-modern ketika agama merupakan salah satu fenomena yang sangat menonjol didalam masyarakat dan negara.

Thomas Coryat, pengembara dari Inggris yang datang ke India antara tahun 1612 dan 1617, telah memberikan sebuah gambaran yang sangat jelas dalam masalah ini. Satu hal yang ditolak oleh raja Mughal Akbar atas perintah yang diberikan oleh ibunya adalah ketika dia memerintahkan Akbar untuk mengikatkan Kitab Injil keleher seekor keledai dan memukulinya diseluruh jalan di Agra sebab orang-orang Portugis telah mengikatkan Qur’an keleher seekor anjing di Ormuz dan memukulinya disepanjang jalan dikota itu. Akbar menjawab, apa yang dilakukan oleh orang-orang Portugis itu adalah hal yang sangat tidak bertanggung jawab. Tapi sebagai seorang raja, dia tidak bisa meniru hal yang serupa didalam kerajaannya karena "penghinaan terhadap sebuah agama adalah penghinaan terhadap Tuhan".

Ini adalah esensi dari India yang ingin dirubah oleh Parivar dengan jalan memberikan dukungan kuat terhadap salah satu agama yang ada sebagai elemen penting dalam negara. Sekularisme ateistik juga tidak mampu menjelaskan kompleksitas dari diskursus keagamaan dengan menganggap bahwa semua bentuk ekspresi keagamaan adalah sama tidak jelasnya seperti halnya rasionalitas pemikiran ala pasca pencerahan. Seseorang tidak perlu menjadi orang yang agamis untuk memahami dan menghargai kekuatan ideologi keagamaan sebagai tantangan terhadap adanya transmutasi komunalis. Para penyair suci pada zaman pertengahan India memahami hal ini, sebagaimana halnya Gandhi memahaminya.

Saat ini, BJP berada dipersimpangan jalan, tidak tahu jalan mana yang harus diambil. Mendapatkan kembali kejayaan yang mereka miliki dengan kembali kepada masa lalu adalah sebuah sikap kurang percaya diri yang sangat jelas. Sudahkah sejarah berulang kembali?

A. Qisa'i

New Delhi - September 2005

Your Ad Here

0 Komentar:

Post a Comment


Your Ad Here

Your Ad Here


Kembali Depan