Tuesday, July 19, 2005

Koalisi Politik: Refleksi Politik Masyarakat Heterogen

Di dalam sebuah masyarakat yang sedang mengalami transisi dari sebuah masyarakat tradisional kedalam sebuah masyarakat modern akan terjadi berbagai macam benturan, baik sosial, kultural, ekonomi, politik dan juga benturan-benturan kepentingan yang lain diantara berbagai kelompok yang menjadi konstituen masyarakat tersebut. Benturan-benturan ini akan mempunyai dampak yang lebih besar terhadap tatanan kehidupan didalam masyarakat yang heterogen apabila dibandingkan dengan benturan-benturan kepentingan yang terjadi didalam masyarakat yang lebih homogen. Benturan-benturan kepentingan ini menciptakan suatu proses yang dikenal dengan istilah proses politik dimana setiap kelompok kepentingan yang ada didalam masyarakat tersebut berusaha keras untuk memberikan pengaruhnya terhadap kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah serta berusaha untuk mempengaruhi tatanan kehidupan kemasyarakatan yang ada. Lemahnya institusionalisasi politik yang terjadi di dalam masyarakat transisi dalam menghadapi berbagai macam benturan kepentingan yang terjadi akan menimbulkan sebuah krisis stabilitas terhadap tatanan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu cara atau sarana untuk memperlancar keseimbangan proses politik yang terjadi didalam masyarakat transisi ini. Salah satu cara yang sering ditemukan didalam masyarakat transisi untuk mengakomodasikan berbagai macam kepentingan yang saling berbeda ini adalah dengan membentuk berbagai macam partai politik sebagai saluran resmi yang diharapkan akan mampu untuk menjembatani proses komunikasi serta saling memahami diantara berbagai kelompok bersangkutan. Dalam definisi umumnya, partai politik adalah sebuah organisasi yang terartikulasi secara lokal, yang berinteraksi dan berusaha untuk mencari dukungan pemilih kebanyakan, yang memainkan peran langsung dan subsantif didalam rekrutmen politik, serta mempunyai komitmen yang kuat untuk mendapatkan kekuasaan atau menjaga kekuasaan, baik secara sendiri atau dengan jalan berkoalisi. Partai politik mempunyai tugas utama untuk mengagregasikan berbagai macam kepentingan yang terdapat didalam masyarakat untuk selanjutnya dikomunikasikan kepada pemerintah dan disosialisasikan dalam bentuk berbagai macam kebijakan pemerintah demi terciptanya tatanan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat yang modern dan demokratis. Selain itu partai politik juga mempunyai peranan yang sangat besar didalam proses rekrutment politik demi berjalannya proses politik didalam masyarakat.

Indonesia adalah sebuah contoh masyarakat yang sangat heterogen dimana berbagai macam kelompok yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbeda saling berusaha untuk memberikan pengaruhnya yang sebesar-besaranya terhadap proses politik. Masyarakat heterogen bisa ditandai dengan adanya berbagai konstituen masyarakat yang mempunyai bahasa, suku, agama, tradisi serta pemahaman politik yang berbeda. Indonesia yang mempunyai berbagai macam suku, bahasa, agama, tradisi serta kebudayaan yang berbeda-beda merupakan contoh sempurna dari masyarakat heterogen. India adalah contoh yang lebih kompleks dari sebuah masyarakat yang sangat heterogen. Sementara itu, masyarakat homogen mempunyai komposisi konstituen masyarakat yang relatif serupa antara kelompok satu dan lainnya bila dibandingkan dengan masyarakat heterogen. Heterogenitas didalam masyarakat homogen biasanya bisa dilihat dari tingkah laku politik mereka, dan bukan dari bahasa atau tradisi yang dipunyainya. Oleh karena itu didalam masyarakat homogen, benturan-benturan kepentingan yang terjadi lebih dikarenakan oleh kepentingan politik yang bebeda dan bukan perbedaan kepentingan-kepentingan primordial yang biasanya dijumpai didalam masyarakat heterogen.

Partai Politik dan Proses Politik di Indonesia

Didalam sejarahnya, pembentukan partai politik di Indonesia lebih disebabkan oleh usaha kelompok-kelompok tertentu, usaha-usaha yang bersifat promordial, untuk memajukan atau menjaga keeksklusifan status mereka. Syarikat Islam, Budi Utomo, Persatuan Tiong Hoa adalah beberapa partai politik awal yang ada didalam sejarah masyarakat Indonesia yang dibentuk berdasarkan atas kepentingan kelompok-kelompok tertentu saja. Apabila Syarikat Islam lebih mengeksklusifkan dirinya kepada kelompok Muslim kelas menengah, Budi Utomo berusaha untuk menjaga tradisi priyayi jawa sementara Persatuan Tiong Hoa memberikan penekanan terhadap kesejahteraan nasib orang-orang keturunan Tiong Hoa. Dalam perkembangannya, ideologi-ideologi politik seperti nasionalisme, komunisme, sosialisme, Islam dan isme-isme yang lain mulai mempengaruhi sepak terjang berbagai macam partai politik di Indonesia, baik selama masa kolonial, masa perang kemerdekaan maupun masa setelah penyerahan kedaulatan negara secara resmi oleh kaum kolonial. Sebagai contoh PNI (Partai Nasional Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang menggunakan ideologi nasionalisme dan komunisme sebagai ideologi dasar pergerakan partai mempunyai perbedaan pendekatan terhadap penyelesaian masalah yang ada didalam masyarakat. Sebagai dua kekuatan yang saling bersaing, PNI dan PKI menggunakan segala macam cara untuk mewujudkan cita-cita partai dalam usahanya untuk menguasai pemerintahan. Masyumi, sebuah partai Islam besar yang menjadi mesin politik kelompok Islam di Indonesia, juga mempunyai peranan politik yang tidak kalah besarnya didalam mewarnai peta politik kepartaian di Indonesia. Partai-partai ini, dan juga partai-partai yang lain, saling bersaing dan, dalam kesempatan yang lain, saling bekerjasama untuk menguasai pusat kekuasaan, atau paling tidak memberikan pengaruhnya terhadap proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Proses ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pada dasarnya, partai politik dibentuk karena keinginan suatu kelompok untuk mempengaruhi jalannya suatu pemerintahan didalam sebuah masyarakat. Tingkat pluralitas atau heterogenitas yang terjadi didalam masyarakat sangat mempengaruhi pola tingkah laku partai politik. Hal ini bisa dibuktikan dari pengalaman sejarah politik kepartaian Indonesia semenjak masa kolonial sampai sekarang dimana lepas dari kenyataan bahwa pada zaman pemerintahan Orde Lama dan pemerintahan Jenderal Suharto telah terjadi tekanan secara terus-menerus terhadap pluralisme didalam masyarakat sehingga tercipta satu kondisi yang memunculkan sebuah dominasi satu kekuatan politik yang mewarnai corak dan proses politik yang terjadi selama lebih dari tiga dekade, politik kepartaian Indonesia pra dan pasca Suharto memiliki tingkat heterogenitas yang sangat tinggi.

Dominasi partai politik didalam proses politik di Indonesia bisa dilihat dari jalannya proses pembuatan pemerintah melalui pemilihan umum yang dilakukan secara langsung dan demokratis pada tahun 1955. Hasil pemilihan umum ini memberikan kesempatan kepada partai politik yang keluar sebagai pemenang untuk mendirikan pemerintahan demokrasi perwakilan yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan rakyat didalam menentukan nasib mereka sebagai sebuah negara bangsa. Akan tetapi tidak adanya satu partaipun yang keluar sebagai kekuatan mayoritas didalam parlemen, mengakibatkan terjadinya koalisi politik demi untuk menciptakan sebuah pemerintahan. PNI, Masyumi dan NU membentuk sebuah pemerintahan koalisi dengan tidak mengikutsertakan PKI yang juga menjadi salah satu dari empat partai pemenang pemilihan umum ini. Koalisi tiga partai besar ini mempunyai tingkat stabilitas yang relatif cukup kuat apabila dilihat dari kekuatan yang mereka miliki didalam parlemen. Tetapi pada kenyataannya pemerintahan koalisi yang dibentuk pasca pemilihan umum 1955 ini tidak mampu bertahan lama karena adanya perbedaan pendekatan ideologis yang terjadi diantara partai pendukung koalisi yang pada akhirnya mengakibatkan jatuhnya pemerintahan koalisi tersebut. Kegagalan partai politik untuk menciptakan pemerintahan yang mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan para pemilih menandai berakhirnya dominasi politik kepartaian di Indonesia dan hal ini telah mengakibatkan timbulnya dominasi oleh kelompok kepentingan tertentu yang pada akhirnya membuat pluralisme kehidupan politik di Indonesia menjadi mati.

Kegagalan berlanjutnya dominasi kekuatan militer Indonesia setelah lebih dari tiga dekade menjalankan kebijakan politik penekanan (repressive politics) dan munculnya kekuatan politik kelas menengah yang dibarengi oleh peningkatan tingkat pendidikan dan pemahaman politik mereka telah memunculkan kembali situasi politik yang sangat plural ditengah krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Usaha untuk menciptakan kembali kehidupan politik yang demokratis melalui politik kepartaian diwujudkan dengan pelaksanaan pemilihan umum tahun 1999 yang diikuti oleh berbagai macam partai politik yang mengusung berbagai macam ideologi politik yang ada. Akan tetapi, harapan untuk memunculkan sebuah kekuatan politik dominan yang mewakili aspirasi mayoritas pemilih gagal tercapai ketika skenario politik tahun 1955 terulang kembali dengan munculnya beberapa partai besar yang menjadi pemenang dengan tanpa ada satu partaipun yang mendapatkan suara mayoritas. Kenyataan ini menunjukkan betapa masyarakat Indonesia sangatlah heterogen dimana tidak terdapat satu kekuatan tunggal yang bisa mendominasi proses politik di Indonesia. Usaha kelompok Muslim untuk mendominasi proses politik ditingkat eksekutif pasca pemilu dengan membentuk sebuah kekuatan koalisi, koalisi Poros Tengah, gagal tercapai karena tidak adanya tujuan jangka panjang dalam pembentukan koalisi tersebut. Tujuan jangka pendek dan pragmatis menjadi penyebab utama kegagalan kekuatan koalisi Poros Tengah ini. Pemilihan umum 2004 yang baru saja selesai dilaksanakan juga memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi dalam pemilihan umum tahun 1955 dan 1999. Tidak ada satu kekuatan politik yang muncul sebagai pemenang mutlak dalam pemilihan umum ini sehingga untuk mampu mendominasi proses politik di Indonesia, partai politik atau kelompok kepentingan yang ada didalam masyarakat Indonesia harus melakukan koalisi sehingga tercipta sebuah kekuatan besar dan dominan yang bisa mempengaruhi proses pengambilan kebijakan didalam pemerintah.

Masa Depan Koalisi Politik

Uraian singkat tentang kehidupan politik kepartaian didalam sejarah politik Indonesia diatas memberikan sebuah indikasi tentang kebenaran kehidupan politik yang heterogen di Indonesia. Tidak adanya satu kekuatanpun yang mampu mendominasi jalannya proses politik yang demokratis di Indonesia tanpa harus melakukan koalisi dengan kelompok atau kekuatan lain menjadi indikasi kecenderungan kehidupan politik koalisi didalam proses politik Indonesia untuk beberapa waktu yang akan datang. Pemerintahan pra dan pasca pemilihan umum tahun 1955 berdiri atas dasar koalisi beberapa kekuatan politik yang mempunyai kecenderungan ideologis berbeda dan dengan didasari oleh kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek semata (power sharing coalition) sehingga tidak tercipta stabilitas pemerintahan yang kuat. Koalisi yang terbentuk adalah koalisi-koalisi figuratif yang hanya mempunyai kecenderungan-kecenderungan politik subyektif sesaat dengan disertai oleh berbagai persetujuan politik yang disembunyikan oleh tiap-tiap elite politik pembentuk koalisi. Koalisi yang terjadi pada masa demokrasi parlementer pada tahun 1950an ini terulang kembali ketika politik kepartaian kembali mendominasi proses politik Indonesia pasca Orde Lama dan Orde Baru. Ketidakmampuan pendukung koalisi Poros Tengah untuk menghindari tujuan-tujuan jangka pendek dan pragmatis mengakibatkan jatuhnya kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) setelah kurang dari dua tahun berjalan. Skenario yang sama bisa saja terjadi pasca pemilihan umum 2004, dan pada masa-masa yang akan datang, apabila tidak segera dirumuskan langkah-langkah tepat untuk menciptakan kekuatan koalisi yang solid yang mampu mengakomodasikan berbagai kekuatan yang berbeda yang muncul didalam masyarakat dan tidak hanya sekedar membentuk sebuah kekuatan koalisi figuratif yang berdasarkan atas kebutuhan-kebutuhan pragmatis jangka pendek semata.

Koalisi yang baik bisa tercipta apabila setiap elite politik yang memperjuangkan demokrasi benar-benar memperjuangkan terbangunnya koalisi nasional lintas agama, etnis dan ras agar demokrasi dapat bergulir dengan baik. Koalisi politik yang dibentuk haruslah mengikutkan kekuatan-kekuatan dan kelompok-kelompok yang berbeda dan tidak hanya terbatas kepada konstituen kekuatan atau kelompok terntentu saja. Koalisi politik yang ideal bisa ditandai oleh beberapa indikator: (i) pola koalisi dibangun berdasarkan platform partai yang jelas, rasional, objektif, dan kredibel sehingga terbangun sebuah alat komunikasi utama untuk melakukan komunikasi dengan konstituen atau kontestan yang lain; (ii) dalam koalisi politik, masing-masing partai menggunakan platform sebagai alat komunikasi sehingga kerja sama yang dibangun diantara mereka akan bersifat objektif, memiliki kejelasan pola, transparan dan berorientasi kepada aspek kekaryaan. Dengan begitu konstituen akan mudah memahami tawaran politik yang bersifat riil, terbuka dan strategis dari setiap kandidat yang akan dipilih; (iii) koalisi politik bertujuan untuk ‘menyelamatkan’ aspirasi konstituen serta platform partai agar terwadahi dalam format kebijakan politik pemerintah masa mendatang. Koalisi politik mensubordinasi kepentingan tokoh dibawah kepentingan partai (koalisi); (iv) meski masih ada muatan kepentingan golongan dan partai, perebutan ruang publik (jabatan presiden, gubernur, atau bupati misalnya) tetap berbasis kepada pertimbangan obyektif-rasional sebagai muara dari transparansi program atau komunikasi yang menyertainya. Apabila hal ini dapat dilakukan, maka koalisi partai dapat menjadi momentum awal bagi transformasi kultur politik di Indonesia sehingga pertarungan klasik politik kaum nasionalis vesus kelompok Islam yang terjadi sejak awal sejarah politik kepartain di Indonesia bisa dihindarkan dimana apabila pertarungan ini tidak bisa dihindarkan hanya akan berakibat kontraproduktif bagi perjalanan politik Indonesia kedepan. Strategi awal untuk menghindarkan skenario ini adalah pentingnya perumusan titik temu bersama yang dapat mempertemukan setiap energi kebangsaan yang menginginkan suatu perubahan politik yang substansial. Koalisi politik tersebut dapat dirumuskan bersama sebagai koalisi politik bersih antikorupsi, yang didalamnya berkumpul kekuatan-kekuatan gugus kebangsaan yang masih menginginkan demokrasi terus berjalan tanpa harus dikotori oleh noda demoralisasi pengelolaan negara dan problema korupsi yang tak kunjung usai. Semoga…

*Reproduksi dari Makalah yang disampaikan dalam Seminar sehari PPI India di New Delhi Bulan Oktober 2004 oleh Ahmad Qisa'i

Your Ad Here

0 Komentar:

Post a Comment


Your Ad Here

Your Ad Here


Kembali Depan