Sunday, February 05, 2006

Reaksi Berantai Kasus Nuklir Iran

Hari Sabtu lalu, 4 Pebruari 2006, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memutuskan untuk mengajukan permasalahan nuklir Iran ke DK PBB. Keputusan ini diambil setelah diadakan pemungutan suara putaran kedua para anggota Dewan Gubernur Dewan Atom Internasional. Dari 35 anggota Dewan yang mempunyai hak pilih, 27 menyatakan setuju, 3 menolak dan 5 abstain. Indonesia yang juga menjadi anggota Dewan Gubernur ini memilih untuk abstain bersama dengan Libya, Afrika Selatan, Belarusia dan Algeria.

Dukungan yang sangat besar terhadap resolusi pengajuan masalah Iran ke DK PBB ini menimbulkan beberapa kemungkinan yang menarik untuk dicermati: (1) kecurigaan kuat dunia internasional terhadap niat Iran untuk membangun persenjataan nuklir; (2) keinginan P-5 untuk menjaga status eksklusif kekuatan nuklir; (3) ketidakmampuan badan internasional, PBB, menjaga hak dan kedaulatan anggotanya.

Dari fakta bahwa 27 dari 35 anggota Dewan Gubernur Badan Energi Atom Dunia yang menyetujui resolusi pengajuan masalah nuklir Iran ke DK PBB, maka bisa disimpulkan bahwa dunia internasional tidak percaya dengan dalih Iran bahwa saat ini Iran hanya membangun teknologi nuklirnya untuk kepentingan sipil.

Kecurigaan ini muncul dari penolakan Iran terhadap tawaran negara-negara Eropa untuk membantu proses pengayaan uranium di luar Iran. Tawaran serupa baru-baru ini juga diberikan oleh Rusia tetapi mendapatkan respons yang sama dari Iran. Alasan Iran: tidak selamanya Iran tergantung kepada negara lain tentang kebutuhan nuklirnya dan karenanya Iran harus membangun semua teknologi nuklirnya sendiri.

Pengembangan teknologi nuklir sipil yang tidak terawasi bisa dengan mudah dibelokkan kepada tujuan militer. Kasus nuklir Iraq pada tahun 1991 dan juga Korea Utara menjadi bukti bahwa pengembangan teknologi persenjataan nuklir sangat mudah untuk disembunyikan. Kenyataan bahwa negara-negara tersebut, seperti halnya Iran, termasuk didalam negara penandatangan Perjanjian Non-proliferarsi nuklir tidak bisa membantu proses pengawasan pengembangan teknologi nuklir.

Kemungkinan kedua bahwa P-5 (negara-negara anggota tetap DK PBB) bersikeras untuk menjaga eksklusifitas teknologi nuklir diantara mereka sendiri juga bisa dijadikan alasan mengapa kasus nuklir Iran harus diajukan kepada DK PBB.

Dengan menjadikan teknologi nuklir sebagai hak ekslusif mereka maka ketakutan bahwa dominasi mereka didunia internasional akan terancam oleh kekuatan nuklir baru akan bisa dihapuskan. Apabila negara seperti Iran, Iraq maupun Korea Utara mempunyai persenjataan nuklir, maka ditakutkan bahwa stabilitas keamanan dunia akan terganggu. Sementara negara-negara seperti Israel, Pakistan maupun India yang notabene bukan penandatangan Perjanjian Non-proliferasi Nuklir saat ini mempunyai persenjataan nuklir adalah sah-sah saja. Sejarah hubungan diplomatik yang cukup bagus dengan Barat membantu mereka menghilangkan imej kekhawatiran. Iran adalah kasus yang berbeda.

Sejarah kelabu hubungan Iran dan Barat pasca Revolusi Iran 1979 menjadi sebab pengajuan kasus nuklir Iran ke DK PBB. Naiknya Mahmoud Ahmadinejad yang keras sebagai presiden Iran mendukung kekhawatiran ini. Lebih-lebih ungkapan Presiden Bush pascra tragedi 9/11 yang meletakkan Iran sebagai bagian dari ‘Axis of Evil’ bersama Iraq dan Korea Utara memperkuat keinginan P-5 untuk menjaga esklusifitas kekuatan nuklirnya.

Kemungkinan ketiga bahwa PBB tidak mampu menjaga hak dan kedaulatan anggotanya didalam menentukan kebijakan negara juga muncul dari krisis nuklir Iran ini. Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Mahmoud Ahmadinejad sebagai reaksi atas pengajuan masalah nuklir Iran ke DK PBB, menghalangi Iran untuk menentukan kebijakan negaranya dalam hal teknologi nuklir sama halnya dengan ‘scientific apartheid’.

Sebab dengan memberikan kesempatan kepada negara lain seperi India, Pakistan maupun Israel untuk mengembangkan teknologi nuklir sipil bahkan memiliki persenjataan nuklir dan pada saat yang sama menghalangi Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir sipil dengan dalih kekhawatiran akan terjadi pembelokan menuju pengembangan persenjataan nuklir menjadi bukti sikap apartheid keilmuan ini.

Lebih lanjut lagi, Iran adalah penandatangan Perjanjian Non-proliferasi Nuklir dan selama dua tahun terakhir melakukan kerjasama yang bagus dengan Badan Atom Internasional untuk melakukan pengawasan dan penyelidikan terhadap fasilitas-fasilitas nuklir Iran. Konklusi terakhir dari tim penyelidik Badan Atom Internasional adalah bahwa Iran tidak mempunyai fasilitas nuklir yang disembunyikan dan bahwa Iran benar-benar mempunyai tujuan untuk mengembangkan teknologi nuklir sipil.

Sebagai penutup, mengutip kata-kata Kepala Badan Energi Atom Internasional, Mohammed El Baradei, dalam menyikapi kasus Iran bahwa saat ini kita berada didalam ‘fase kritis’, tetapi kita belum sampai kepada ‘fase krisis’ bisa dikatakan bahwa kasus Iran ini menjadi pelajaran yang berharga bagi semua negara di dunia.

Bahwa sikap tergesa-gesa dengan mengajukan Iran ke DK PBB hanya akan mengakibatkan tragedi kemanusiaan yang sama seperti yang telah terjadi di Afghanistan maupun Iraq. Paranoia tentang teknologi persenjataan nuklir akan jatuh ketangan teroris telah menimbulkan penghancuran Taliban di Afghanistan. Rezim Saddam Hussein di Iraq juga mengalami hal serupa karena dituduh mempunyai Senjata Pemusnah Masal. Rakyat Korea Utara harus menanggung derita sangsi ekonomi karena teknologi nuklir yang dipunyainya. Haruskah rakyat Iran menangalami hal serupa? Tidak cukupkah Afghanistan, Iraq maupun Korea Utara dijadikan contoh?

Ibarat bola sudah bergulir, resolusi pengajuan permasalahan teknologi nuklir Iran ke DK PBB sudah diambil. Sejauh mana nantinya akan bergerak, apakah ‘fase krisis’ akan ditemui, semuanya sekarang tergantung kepada pilihan yang akan diambil oleh Teheran.

Your Ad Here

0 Komentar:

Post a Comment


Your Ad Here

Your Ad Here


Kembali Depan