Tuesday, February 21, 2006

India, Nuklir Iran dan Nasib Sebuah Demokrasi

Ada satu hal menarik untuk disimak disini bahwa pada awal bulan ini, Sekretaris Negara AS Condoleeza Rice telah mengumumkan bahwa pemerintah Amerika Serikat telah memutuskan untuk menyediakan dana sebesar lebih kurang 85 juta dolar untuk sebuah agenda besar “pengenalan demokrasi” di Iran.

Dana besar ini dirinci untuk berbagai kegiatan yang bertujuan untuk membangun Iran yang lebih demokratis: untuk membiayai gerakan para pembangkang politik, para pimpinan persatuan-persatuan buruh serta untuk para aktivis HAM. Selain itu juga ditekankan oleh Rice bahwa pemerintah AS juga berkeinginan untuk melakukan kerjasama dengan LSM-LSM Iran di dalam dan luar negeri untuk membangun sebuah jaringan internasional demi menyukseskan program ini.

Paling tidak 50 juta dolar dari dana yang disediakan oleh pemerintah AS ini akan dihabiskan untuk membangun sebuah stasiun televisi 24 jam berbahasa Persia untuk dipancarkan ke Iran, sekitar 5 juta dolar lagi akan diperuntukkan sebagai beasiswa untuk para pelajar Iran dan jumlah yang serupa juga akan dipergunakan untuk membangun jaringan internet serta ‘usaha-usaha lain’ agar tujuan pembangunan demokrasi ini bisa tepat mengenai sasaran.

Menurut Rice agenda pengenalan demokrasi di Iran ini merupakan prioritas terpenting bagi pemerintah AS dan menekankan bahwa langkah-langkah tersebut diatas hanyalah merupakan langkah-langkah awal saja dan, mengutip dia, “Apabila usaha-usaha awal ini telah membuahkan hasil, kami akan membangun kesempatan-kesempatan baru untuk mengembangkan dukungan kami kepada rakyat Iran.”

Keputusan yang dikerluarkan secara terang-terangan oleh pemerintah AS untuk menjatuhkan pemerintahan demokratis di Iran yang dipilih melalui pemilu yang demokratis ini jelas-jelas merupakan usaha AS untuk melakukan intervensi terhadap urusan internal sebuah negara berdaulat dan sebuah negara yang paling demokratis diantara negara-negara di Asia Barat.

Respons dunia internasional
Arogansi sikap yang ditunjukkan oleh AS ini mendapatkan reaksi dingin dari dunia internasional. Sebaliknya, sikap merestui seolah ditunjukkan oleh dunia dan tidak ada keinginan untuk mengajukan keberatan, apalagi menghalang-halangi AS melaksanakan niatnya.

Ada dua alasan yang bisa menjelaskan mengapa dunia internasional membisu dan berpangku tangan seolah merestui keputusan AS untuk mencampuri urusan dalam negeri sebuah negara yang berdaulat seperti Iran.

Pertama, setelah lima anggota tetap DK PBB dan negara-negara lain termasuk India memutuskan untuk mengajukan permasalahan nuklir Iran ke DK PBB didalam pertemuan Dewan Gubernur Badan Energi Atom Dunia (IAEA) di Wina awal bulan Pebruari lalu, adalah sebuah kewajaran menurut dunia internasional untuk membiarkan AS meneruskan niatnya untuk menghancurkan pemerintahan demokratis di Iran yang ada sekarang.

Mereka beranggapan bahwa program nuklir sipil Iran saat ini hanyalah kedok belaka bagi Iran dalam usahanya untuk membangun persenjataan nuklir secara tersembunyi. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa hingga saat ini tidak ada satupun usaha atau aksi internasional yang bisa menghentikan Iran dalam mewujudkan impiannya untuk mengembangkan teknologi nuklir.

Alasan kedua, meminjam istilah yang sering kali digunakan di Washington, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad adalah seorang pemimpin yang “tidak bertanggung jawab” dan karenanya harus diturunkan dari kursi kepresidenan Iran apabila Iran benar-benar menginginkan adanya sebuah demokrasi yang sesungguhnya, demokrasi ala Amerika.

Berdasarkan kedua alasan ini, sikap keras kepala Iran dalam masalah nuklir dan sikap anti-Amerika yang ditunjukkan oleh Presiden Ahmadinejad, pemerintah AS, dengan restu dari dunia internasional, telah menjustifikasikan keputusannya untuk melakukan intervensi terhadap permasalahan dalam negeri sebuah negara demokratis yang berdaulat.

Respons dari India
Melihat perkembangan masa depan demokrasi Iran yang kurang cerah, India sebagai sebuah negara demokrasi terbesar di dunia, seolah malah ikut mengamini sikap arogan pemerintah AS ini. India memilih bersikap diam dan tidak ada rasa keberatan sedikitpun yang diajukan oleh New Delhi terhadap rencanca besar AS di Iran.

Sebaliknya, dengan berlindung dibalik dalih kepentingan nasional, PM Singh menyatakan dalam pertemuan di parlemen akhir minggu lalu bahwa pemerintahnya akan ikut menyetujui pengajuan masalah nuklir Iran kepada DK PBB pada 6 Maret depan apabila negara-negara anggota tetap DK PBB juga mengambil sikap sama.

Dengan mengajukan masalah nuklir Iran ke DK PBB maka kemungkinan pelaksanaan rencana besar AS di Iran akan sangat besar terjadi. Tragedi kemanusiaan dan pertikaian berdarah yang saat ini terjadi di Iraq sebagai hasil dari rencana besar Presiden Bush untuk mengenalkan demokrasi ala Amerika kepada rakyat Iraq sangat mungkin akan terulang di Iran diwaktu yang akan datang.

Reaksi dingin dunia internasional terhadap rencana AS di Iran ini menunjukkan bahwa saat ini tidak ada lagi kekuatan penanding hegemoni AS di dunia. Rusia sebagai pewaris legasi Uni Soviet yang diharapkan mampu menjadi penyeimbang hegemoni AS hingga saat ini masih berkutat dengan permasalahan internal yang tak kunjung selesai sehingga membuatnya lemah dan tak berdaya.

Cina, meskipun sebuah negara besar dengan kekuatan ekonomi yang bisa menandingi AS, bukanlah sebuah negara demokrasi yang peduli akan kelangsungan nasib sebuah demokrasi di negara seperti Iran. Selama kepentingan ekonominya tidak terganggu, mereka tidak akan peduli.

India, sebuah negara demokrasi terbesar di dunia yang juga mempunyai kemampuan nuklir serta sebuah kekuatan ekonomi baru di Asia yang diharapkan bisa menunjukkan solidaritasnya terhadap nasib negara demokrasi, seolah terbuai dengan tawaran dan rayuan AS yang menggiurkan. India rela membiarkan demokrasi di Iran diobok-obok asalkan India mendapatkan keuntungan strategis dan ekonomis yang tak terhingga.

Sikap kurang sensitif pemerintah India terhadap masa depan demokrasi di Iran ini telah menimbulkan reaksi keras dari partai Kiri dan Samajwadi Party yang merupakan partai pendukung pemerintahan koalisi yang saat ini berkuasa di New Delhi. Apabila PM Singh gagal menyatukan visi para pendukung kabinet koalisinya, kemungkinan terburuk adalah penarikan dukungan partai Kiri yang bisa berakibat terhadap jatuhnya pemerintahan koalisi UPA (United Progressive Alliance).

Sebaliknya, apabila PM Singh berhasil menyakinkan partai koalisinya dan berhasil mempertahankan pemerintahannya, masa depan demokrasi di Iran akan semakin suram. Sebab dengan pengajuan nuklir Iran ke DK PBB maka langkah AS untuk menerapkan agenda besarnya di Iran akan semakin terbuka lebar dan tragedi di Iraq akan terulang di Iran.

Your Ad Here

0 Komentar:

Post a Comment


Your Ad Here

Your Ad Here


Kembali Depan